Minggu, 08 Maret 2009

POSISI DAN PERAN PMII DALAM ARUS PRAGMATISME

BAB IX

POSISI DAN PERAN PMII DALAM ARUS PRAGMATISME

Secara sosiologis, posisi dan peran hanyalah dua sisi dari satu fenomena yang sama. Seringkali posisi itu merupakan sisi yang pasif. Sedangkan peran adalah sisi yang aktif. Oleh karena itu membicarakan masalah poisi dan peran secara praktis sebenarnya tidak bisa dipisahkan, hanya bisa dibedakan.

Pada dasarnya posisi dan peran PMII bisa dilihat dari arah dan dimensi yang berbeda :

Pertama : Jika kita menggunakan kerangka negara dan mesyarakat sipil (State and cicil sociaty) dalam konteks ini posisi dan peran PMII apa.

Kedua : Dari sisi paradigma perubahan sosial, dalam konteks
perubahan sosial ini posisi dan perannya sebagai apa.

Ketiga : Posisi dan peran PMII dalam gerakan sosial, maka juga
penting dikaji posisi PMII dimana dan apa perannya.

Secara organisatoris dan fungsional, PMII memang tidak menduduki tempat yang sembarangan. Artinya secara keseluruhan bisa merupakan salah satu dari elite di dalam masyarakat. Kalau kita kita menggunakan elite dengan massa, kontradiktif memang. Apakah PMII itu organisasi elite atau organisasi massa. Cara pandang yang kontradiktif ini akan membawa implikasi-implikasi tertentu. Keadaan ini di dalam PMII sendiri masih menjadi perdebatan. Adanya kecendrungan yang menganggap PMII sebagai organisasi massa, sehingga ada sebagian tokoh-tokoh PMII dalam moment-moment tertentu atau dalam menanggapi issu-issu yang muncul cendrumg mengaerahkan massa. Tetapi disisi lain adanya pmikiran bahwa PMII bukan organisasi massa, dengan perhitungan: berapa banyak jumlah mahasiswa di Indonsia, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks mahasiswa, berapa jumlah anggota PMII dari keselurhan mahasiswa di Indonesia. Disadari atau tidak, sebenarnya pengelompokan ini lebih bersifat eksklusif, lalu menjadi elitis. Seseorang yang tidak menjadi mahasiswa tidak akan bisa menjadi anggota PMII. Dalam hal ini jelas, pemilahan sebagai kelompok mahasiswa dengan massa secara umum. Oleh karena itu, jika dikembangkan lebih jauh, maka peran PMII dalam versi ini, bukan dengan melakukan pengerahan massa sebanyak-banyaknya, tetapi merebut posisi dan peran tertentu yang dianggap strategis.

Dua kecendrungan tersebut masih ada di dalam tubuh PMII, yang nampaknya akan menjadi gerakan-gerakan dinamis di dalam PMII itu sendiri dan itu akan terlihat dalam kelompok-kelompok periode kepengurusan. Sesungguhnya kepengurusan itu merupakan pergumulan resultante dari berbagai kepentingan yang ada dalam tubuh organisasi PMII.

Selaras dengan pandangan yang terakhir ini, bahwa PMII secara institusional tidak harus besar, tetapi individu-individu yang ada di dalamnya yang harus besar dan berkualitas, individu yang mempunyai kualitas Ulul Albab, secara real, berbagai indikasi normatif yang ada harus diaktualisasikan , sehingga kualitas kader PMII benar-benar dapat dibuktikan dihadapan zaman.

Persoalannya adalah bagaimana PMII melihat keadaan dan perubahan-perubahan sosial dalam konteks masyarakat Indonesia. Pilihan-pilihan paradigma mempunyai implikasi berbeda terhadap pilihan-pilihan gerakan yang akan berbeda pula. Ini persoalan-persoalan yang harus diselesaikan secara internal oleh PMII.

Dalam arus gerakan-gerakan sosial, ada beberapa pandangan tentang geraka sosial :

Pertama : Social movement, adalah gerakan sosial yang bersifat sporadis, spontan, tujuannya jelas dan berjangka pendek, sangat impulsif, misalnya gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah, bila tuntutan itu sudah dipenuhi, maka selesailah gerakan itu. Gerakan ini sebagai gerakan sesaat, karena spontan dan tujuannya berjangka pendek, dan organisasinya tidak disiapkan secara matang, maka sangat mudah dipatahkan oleh kekuatan rezim yang berkuasa.

Kedua : Social cultural movement, tujuannya jangka panjang, lebih fundamental, karena yang dihadapi higemoni kekuasaan, hegemoni kelompok-kelompok diminan yang berkuasa, oleh karena itu strategi yang digunakan berbeda dengan yang pertama. Sasaran, pemberdayaan kelompok-kelompok rentan, kelompok-kelompok marginal dan terpinggirkan dan orientasinya kultural.
Ketiga : Historical movement, pergolakan yang sangat panjang, lebih panjang dari social cultural movement dan ini lebih bersifat historis, artinya sejarah yang akan menentukan.

Dalam konteks social cultural movement, sebenarnya masalah utamanya adalah higemoni kelompok-kelompok dominan dan kepemimpinan kultural. Oleh karena itu, salah satu strateginya adalah perang kultural yaitu bagaimana merebut kepemimpinan kultural dan intelektual. Misalnya bagaimana menentukan isu-isu yang dapat membalikkan higemoni. Jadi kebih bersifat counter higemoni. Dalam hal ini mendekonstruksikan wacana yang sedang dominan pada saat tertentu. Kalau rezim sekarang, misalnya ideologinya Develpomentalisme maka yang harus di dekonstruksi adalah ideologi developmentalisme. Mendekonstruksikan wacana-wacana yang higemonis yang disebut dengan War of Position.

Dalam posisi seperti ini, PMII harus berfikir utuh untuk melakukan social movement jangka pendek, ramai-ramai mengerahkan massa untuk menuntut perubahan upah buruh lalu selesai atau atau pada social and cultural meovement yang strategi utamanya adalah War Of Position, perang merebut kepemimpinan kultural dan intelktual.

PMII sebagai kelompok mahasiswa, jika diletakkan pada konteks gerakan sosial, maka pilihan pada posisi social and cultural movement di dalam jangka panjang, patut dipertimbangkan, sehingga seluruh sumber daya yang ada dipersiapkan untuk merebut higemoni kultural. Ini mengharuskan para pemimpin menciptakan isu, kemudian mendekonstruksikan wacana yang sedang higemonis. )

Jika saat ini yang menghigemoni aliran modernisme dan developmentalisme, maka fungsi, posisi dan peran yang diambil PMII, adalah mempelajari secara sungguh-sungguh apa itu ideologi developmentalisme. Kemudian mendekondtruksikan mitos-mitos developmentalisme, mensosialisasikan, menebarkan ide-ide dekonstruksi tadi, counter higemoni itu kepada masyarakat luas. Pada tahapan ini dilakukan dengan kelompok-kelompok pro demokrasi lain yang dianggap punya akses massa.

Jika PMII terjebak pada permainan-permainan jangka pendek, maka sumbangannya terhadap proses pemerdekaan, pembebasan bangsa ini menjadi sangat kecil dan terbatas. Sumbangan fundamental harus diletakkan pada social and cultural movement. Memang perjuangan ini lebih berat dan tidak populer serta tidak menghantarkan orang menjadi pahlawan-pahlawan dadakan. Ini menjadi tantangan besar, menjadi aktor intelektual dalam perubahan sosial yang besar.

Untuk itu memang tersedia pilihan-pilihan, apakah PMII akan melakukan investasi pada seluruh daya untuk gerakan-gerakan yang bersifat spontan gerakan-gerakan massa, atau invstasi jangka panjang untuk menumbukan kader-kader yang mempunyai ketejaman analisis sosial dan mempunyai komitmen tinggi terhadap mustad’afin, bukan terhadap dirinya sendiri, posisi organisasinya sendiri. Disini PMII ditantang untuk melampaui batas-batas etnis, ras dan keagamaan, karena yang dibela itu golongan tertindas.

Betapapun dalamnya PMII terlibat di dalam kehidupan politik , seperti tampak dalam perjalanan sejarah Indonesia, namun umumnya pengamat cenderung berkesimpulan bahwa PMII itu merupakan kekuatan moral. Perannya membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat.

Dalam rangka mewujudkan perannya, PMII terlibat secara aktif dalam proses pembangunan bangsanya. Secara struktural, ia menduduki struktur politik yang dianggap bermanfaat untuk melaksanakan fungsi kritik dan korektif atau pembaharuan, atau membangun gerakan-gerakan tertentu yang diorganisasikan secara tetap untuk menanggapi permasalahan masyarakat. Disamping itu keterlibatan PMII dalam kehidupan politik, berlangsung secara terbatas dan bersifat sporadis atau temporal. Dalam hal ini PMII berpolitik dalam bentuk kritik yang berkenaan dengan masalah-masalah krusial dalam kehidupan masyarakat laus.

Dengan melihat posisi yang demikian itu gayuh politik PMII terletak bukan pada kuantitasnya, akan tetapi justru titik gayuhnya ada pada kualitas “input politik”, bukan pada kualitas proses politik. Pada kasus tuntutan PMII terhadap mundurnya seorang Menteri Agama yang dinilai melakukan kesalahan terhadap kepentingan ummat Islam pada tahun 1991 (kasus Mena) adalah contoh yang pas dari peran Input Politik.

Masalahnya sekaang ialah sampai seberapa jauh takaran perhatian pada peran politik dibandingkan dengan peran lainnya. Terkadang peran politik itu muncul disebabkan aanya interes politik yang bersinggungan dengan tujuannya, maka itulah yang disebut sebagai political side atau sisi politik. Jadi politik PMII muncul sejalan dengan kiprahnya memperjuangkan cita-cita dan tujuannya.

Gerakan politik PMII beupa kontemplatif-reflektif dan etis-normatif dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan budaya politik yang bebas, mandiri, bertanggung jawab serta demokratis. Budaya politik yang matang dan arif akan menghantarkan pada perilaku dan partisipasi politik yang independen, bukan mobilisasi.

Gerakan PMII senantiasa mendasarkan diri pada komitmen keadilan , kebenaran dan kejujuran. Selama hal ini belum menjadi life style bangsa Indonesia, maka gerakan PMII akan terus dilakukan.

Mengembangkan suasana patnership, dialogis kepada semua pihak diluar PMII. Bukan zamannya lagi independen dan eksklusif, taetapi dapat diganti dengan pola interdependensi. Gerakan PMII harus berani, keras tetapi bertanggung jawab yang dilandasi semangat kebangsaan dan akhlakul karimah.

Dua bentuk sumber daya yang menjadi tenaga pendorong bagi PMII untuk terlibat dalam proses politik :

Pertama : Ilmu pengetahuan. Kombinasi antara watak ilmiah yaitu kritis – obyektif dengan pengetahuan yang sistematik tentang masalah-masalah kemasyarakatan disamping masalah yang menjadi bidang spesialisasinya, mendorong PMII untuk mengadakan penilaian dan menentukan sikap tentangb kehidupan masyarakat yang mengelilinginya.

Kedua : Sikap idealisme yang lazim menjadi ciri mahasiswa pada umumnya. Sebagai unsur dari masyarakat yang masih bebas dari struktur kekuasaan, ada di dalam masyarakat. Kombinasi antara kebebasan struktural itu dengan pengetahuan dan pemahaman mereka akan cita-cita, idea atau pemikiran tentang politik, budaya ekonomi dan kemasyarakatan memungkinkan PMII mempunyai sikap kritis.
Dengan menyadari posisinya sebagai kekuatan intelektual yang gandrung akan pembaharuan dan masa depan bangsanya, maka sepantasnya PMII selalu berada dalam ruang pencarian alternatif pembaharuan, eksploraasi yang berangkat dari kenyataan kekinian. Dengan keasadaran ini PMII, akan dengan mudah melakukan inventarisasi agenda-agenda pembaharuan bagi perjalanan bangsanya.


MENUMBUHKAN SIKAP MANDIRI

Dalam sebuah sistem politik yang korporatif memang tidak dimungkinkan tumbuhnya kelompok-kelompok independen diluar skenario negara, semuanya harus masuk dalam korporasi negara. Maka lembaga dan organisasi massa – termasuk orgaisasi kemahasiswaan – tidak lepas dari cengkraman sistem korporasi tersebut. Independen dengan demikian dianggap sebagai pembangkangan. Ini terbukti dari upaya yang ditempuh NU (nahdlatul Ulama) untuk tampil sebagai organisasi masyarakat sipil yang independen ternyata menghadapi tantangan sangat keras, baik dari dalam, yakni para elite NU yang ingin memperoleh fasilitas dari pengauasa, maupun dari luar, yakni dari sekelompok aparat yang menginginkan NU sebagai organisasi yang patuh dalam arti tidak lagi malakukan kontrol sosial.

Sejalan dengan dominannya negara, yang menjadi ciri lain dari sistem ini adalah satuansatuan unsur masyarakat kurang begitu berdaulat. Proses pengangkatan dan penempatan politik (political recrutment) tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh negara. Sama halnya dalam sektor ekonomi dalam bidang-bidang yang lainpun jika ingin menempati posisi penting dalam sistem tersebut perlu memelihara hubungan yang dekat dengan negara. Hal inilah yang membuat begitu “stabilnya” sistem politik. Negara tidak dengan sendirinya mewujudkan kebijaksanaannya, hanya sayangnya unsur-unsur masyarakat menjadi terabaikan. Posisinya hanya berada dipinggir decition making, yang fungsinya hanya mengimplementasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang datang dari negara.

Salah satu ciri yang menonjol dar sistm ini, yaitu sangat bearnya peran negara dalam setiap sektor kehidupan masyarakat yang ditandai dengan munculnya negara sebagai suatu kekuatan yang tak sebanding dengan unsur-unsur kekuatan masyarakat. Negara dalam hal ini adalah lembaga modern berdasarkan azas kesatuan bangsa (nation state), yang berupa birokrasi baik sipil maupun militer.

Sebagai organisasi mahasiswa yang bedemensi kepemudaan, PMII mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas warganya, bukan semata sebagai batu loncatan untuk meraih posisi-posisi politik dan kekuasaan. Keadaan ini hampir terjadi pada setiap organisasi baik kemahasiswaan maupun kepemudaan. Hal ini tidak terlalu memprihatinkan seandainya berakibat tumpulnya daya kritis mereka terhadap penyimpangan sosial dan politik dan masyarakat mereka akan memilih diam, kritik dipandang sebagai perlawanan, karena itu mereka hindari. Akibatnya merekapun selalu tampil sebagai anak manis. Yang dilakukan bukanlah tugas penyadaran masyarakat, melainkan sekedar akrobat politik dalam bentuk sowan-sowanan, minta restu atau minta perlindungan.

Bila mahasiswa dan kalangan terpelajar telah menjadi subordinasi kekuasaan, maka dengan dalih keselarasan dan kekeluargaan atau sekedar kerikuhan, akhirnya tidak bisa dan tidak mau melakukan kritik sosial dan kontrol kekuasaan atas dasar tanggung jawab moral. Ini berarti membiarkan masyarakat dan bangsa terjerumus kedalam jurang kehancuran. Karena pada hakekatnya kritik itu adalah peringatan, bukan perlawanan. Tidak mudah memang malakukan kritik, karena ini menyangkut kapasitas lembaga seseorang:

Pertama : Harus tahu persoalan-persoalan sosial, baik konseptuan maupun praktikal.

Kedua : Diperlukan ketajaman visi.

Ketiga : Dibutuhkan kematangan sikap dan keberanian moral.

Dengan demikian, seperti telah disebut dalam bab terdahulu. Ketika PMII dengan sikap kritisnya mampu merumuskan masyarakat yang dicita-citakan, maka sikap itu terkait dengan kemampuan untuk bersikap mandiri (independen).

Sikap mandiri itu artinya “pembebasan manusia dari ketidak dewasaan yang diciptakan sendiri”. Ketidak dewasaan ini adalah ketidak mampuan manusia untuk memakai pengertian tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri, berarti ketidak matangan ini tidak disebabkan oelh karena kekurangan dalam akal budi, melainkan karena kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan orang lain. Kemandirian (independen) berarti keberanian untuk memakai akal budi, kemampuan untuk menggunakan penalaran yang obyektif dan kritis.

Dengan independensi, artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai pilihan peran yang hendak diambil, adalah berdasarkan pada kebenaran, dan obyektif seperti yang diyakininya. Artinya kemandirian dalam mengambil sikap dan tindakan, tidak terpengaruh oleh kekuatan dan tantangan apapun, harus menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan. Hal ini menjadi penting, ketika kita memaknakan kembali independensi PMII. Sebab hanya dengan kematangan dan kemandirianlah yang menjadi tuntutan perkembangan. Apabila kesadaran sebagai bagian dari kekuatan moral, maka independensi adalah modal utamanya.

Namun semua itu tidak muncul dengan sendirinya, maliankan sangat erat kaitannya dengan ada tidaknya proses sosialisasi nilai moral, baik yang besifat keagamaan maupun kamanusiaan serta bagaimana cara mengejawantahkan dalam sikap, ucapan dan tindakan. Bila nilai-nilai tersebut tidak pernah di internalisasikan, maka akbiatnya seperti yang sering kita lihat pada elite organisasi hanya belajar begaimana mengendap-endap disekitar pusat-pusat kekuasaan untuk memperoleh kesempatan.

Dalam sistem politik yang serba tretutup dan tidak adanya transparansi dalam rekrutmen kader seperti sekarang, tipe-tipe orang semacam itu memang lebih banyak mendapat kesempatan, tetapi perlu dicatat, bahwa orang semacam itu tidak akan memberikan kontribusi apa-apa terhadap kehidupan masyarakat dan bangsanya. Sebaliknya dalam situasi politik yang lebih transparan dan kompetitif tipe orang semacam itu tidak lagi relevan. Dalam sistem yang disebut terakhir ini membutuhkan manusia yang berkarakter dan berkapasitas. Disinilah ormas, baik kemahasiswaan maupun kepemudaan mesti mempertimbangkan kembali sistem kaderisasi yang ada, kalau tidak, mereka tidak akan dapat berdialog dengan perkembangan zaman.




PMII DAN HIGEMONI ORDE BARU

Menipisnya peran yang dimainkan PMII dalam sistem orde baru merupakan konsekwensi logis dari upaya setengah hati yang oleh aktivis PMII pasca 70-an. Walaupun begitu, kegagapan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya kepundak para aktivis tersebut, karena pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran mahasiswa juga merupakan pandangan resmi penguasa orde baru yang terus disebarkan sebagai dasar legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu. Negara memandang bahwa mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehungga perlu memainkan peran untuk kemajuan bangsa dan negara dalam batas-batas yang ditentukan sendiri oleh negara. Mahasiswa juga diperbolehkan melakukan “politik praktis” tetapi harus disalurkan melalui lembaga-lembaga politik yang disahkan negara seperti partai politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa melihat bahwa unsur-unsur dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan dalam menjalankan pembangunan dan modernisasi. Sehingga calon intelektual dan agen modernisasi mahasiswa bertugas menjalankan fungsi kontrol sosial dkritik yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi PMII tentang mereka sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya sama sekali tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan perannya dalam sistem tersebut dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya negara mampu mengarahkan lakon sambil menjaga batas-batasnya.

Sudah tentu, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan negara tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang-surut gerakan PMII, menunjukkan bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dilakukan PMII untuk menolak dan keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian, gagasan dominan yang mernguasai hampir sebagian besar aktivitasnya tetaplah ideologi yang dominan. Oleh karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi tentang peran mahasiswa (termasuk PMII), tetapi lebih jauh mengapa mitos tersebut bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan.

Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak pernah meletakkan PMII dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau dalih yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman. ) misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial politik. Mahasiswa hanyalah katalisator bagi adanya perubahan. ) Sehingga sangat berlebihan untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang seharusnya dijalankan oleh kekuatan politik non-mahasiswa. Karena itu perlu dilihat posisi sosial mahasiswa dalam konteks sosial historis yang lebih konkrit, yakni memeriksa basis dimana gagasan tentang peran tersebut berdiri dan terus dihidupi.

Selama ini posisi PMII di dalam struktur kelas tidak pernah diperiksa, sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tetapi juga pengaburan yang di higemoni oleh negara. Hal ini disebabkan karena :

Pertama : Posisi kelas sosial PMII (juga organisasi mahasiswa yang lain) sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas lokasi kelas dari PMII. Disatu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses produksi-komoditi, sehingga bukan bagian dsri kelas pekerja. Tetapi dilain pihak, mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapatalisme, yakni universitas – yang menjadi basis anggotanya. Mereka bukan borjuis, juga bukan pekerja. Dalam analisis ini tidak terlalu penting memeriksa asal usul kelas dari keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat : ke posisi mana ia akan melangkah, atau akan memasuki karir dan profesi apa nantinya. Karena determinasipra-kelasnya itu, maka kepentingan-kepentingan politik dan corak kesadaran kelasnya pun berubah-ubah, tergantung dari gagasan atau ideologi apa yang dominan menguasai kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang konkrit dan spesifik. Pada satu titik tertentu, PMII bisa menjadi juru bicara untuk dirinya sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes tentang sistem pendidikan, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik yang lain, PMII bisa jadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama kelas atau kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui kritik-kritik dan gerakan protes sepanjang satu dasa warsa ini. Tapi yang terakhir ini juga tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang menguasai masyarakat. Seperti sudah disebutkan terdahulu, gagasan yang dominan adalah gagasan tentang peran mahasiswa (inklusif PMII) demi negara. Kendati gagasan dominan ini merupakan mitologi, tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan dan dipegang oleh kekuatan yang higemonik, yakni negara, maka mitos tersebut bisa diwujudkan.

Kedua : Karena sistem sosial yang ada di Indonesia adalah kapita lisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme yang telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam perkambangannya sejak kemerdekaan hingga masa orde baru, sistem kapitalisme pinggiran ini tidak menghasilkan suatu kelas menengah yang tangguh, yang relatif mandiri terhadap pengaruh negara. Kelas kapitalis yang ada justru tumbuh dari dalam tubuh negara dan di dorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan alam hasil hutan dan lain-lain. Kondisi historis semacam itu menyebabkan kelas menengah yang muncul tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pengaruh negara. Karena itu negara juga memiliki otonomi yang besar yang memungkinkan mendominasi seluruh kelas-kelas yang ada di masyarakat, kemudian menegakkan higemoninya hanya atas nama negara itu sendiri. Secara lebih khusus negara mendominasi perguruan tinggi atau kampus, yakni tempat dimana mahasiswa berada, yang menjadi basis PMII. Implikasi historisnya, secara higemonik negara bisa membangun panggung-panggungnya dan menentukan peran apa yang harus dimainkan demi kepentingan negara sendiri.

Demikianlah karena kekaburan dan pengaburan posisi kelasnya, PMII menjadi gagap untuk jujur menyatakan kepentingan obyektifnya dalam diskursus yang secara simultan mendorong aksi atau protes-protes mereka. Kegagapan ini menjadi katarsis yang secara sistematis dimanipulasikan dalam higemoni negara sedemikian rupa sehingga PMII merasa terus terpanggil untuk memainkan perannya dalam panggung-panggung mitologi tersebut. Di masa depan, hanya ada dua pilihan bagi gerakan PMII untuk menghindar dari katarsis dan melakukan upaya demitologisasi yang sungguh-sungguh, yakni dengan segala harapannya tetap berupaya menjalankan “tugas sucu”, menegakkan demokrasi, atau bergabung dengan kekuatan masyarakat lainnya untuk tugas kekhalifahannya dalam sistem dan higemoni negara.

Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1980-an - 1990- an

I. Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1980-an - 1990- an

Gerakan Mahasiswa yang marak kembali akhir-akhir ini tentu mempunyai akar yang dalam dimasa sebelumnya, baik dari segi ide maupun format gerakan. Edward Aspinall, seorang pengamat gerakan mahasiswa Indonesia dari Monash University Australia, mengatakan adanya era “keterbukaan” ide dalam dunia kemahasiswaan Indonesia 1980-an. Dikatakan bahwa mahasiswa 1980-an yang akan berdampak pada gaya gerakan mahasiswa 1990-an – mempunyai kebebasan yang lebih untuk menyerap ide dari aliran manapun.

Para aktivis mahasiswa sering menyebut pergeseran itu dengan istilah : dari isu elitis menuju populasi. Para Mahasiswa era 1980-an tampak lebih sering hadir ditengah rakyat yang sedang menghadapi benturan dengan pembangunan daripada mahasiswa sebelumnya. Setidak-tidaknya mahasiswa 1980-an punya nafas yang lebih panjang untuk dengan “setia mendampingi” rakyat yang bermasalah. Sangat sering mahasiswa berbondong-bondong dengan rakyat menuju gedung parlemen untuk memprotes sesuatu. Ini gejala menarik yang tidak akan bisa ditemukan dalam gerakan mahasiswa era sebelumnya. Kalau dalam dataran isu terjadi pergeseran, begitu juga dalam simbol spektrum gerakan. Dulu, sejak 1960-an, pusat gerakan mahasiswa identik dengan pusat kekuasaan : Jakarta, Agaknya mahasiswa 1980-an mampu menggesernya sehingga Jakarta menjadi pinggiran dalam gerakan mahasiswa, setidaknya tidak dominan lagi. Hal ini seiring dengan menurun drastisnya – untuk tidak mengatakan apatisme – gerakan mahasiswa Jakarta.

Aksi protes mahasiswa turun jalan meluas keberbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, Jember, Malang, Salatiga, Ujungpandang dan kota-kota mahasiswa lainnya. Gejala ini pernah dijuluki sebagai “Kebangkitan Peran Sosial” mahasiswa. Dan mereka walaupun sering dingkari dan dilecehkan eksistensi gerakannya oleh retorika aparat negara – memang mulai sedikit demi sedikit melepas kaca mata kudanya.

Mahasiswa mulai memakai instrumen kekuatan opini massa sebagai pendorong munculnya diskusi publik soal aspirasi-aspirasi mahasiswa, seperti demokratisasi, keterbukaan, pemerataan ekonomi, kepastian hukum dan masalah – masalah yang berhubungan dengan Hak-Hak Asasi manusia. Para aktivis mahasiswa sering memulai gerakannya dengan mimbar bebas. Kedekatan mereka dengan para jurnalis menyebabkan resonansi gerakannya semakin meluas.

Meluasnya gaung ini juga didukung oleh forum-forum temporer yang mereka bentuk sebagai reaksi atas suatu persoalan. Misalnya Forum komunikasi mahasiswa Yogyakarta (FKMY), FKMS (Surabaya), FKMM (Malang), atau FKMJ (Jember). Forum – forum itu bisa memperluas resonansi gerakan karena dapat mencitrakan perkumpulan sejumlah besar mahasiswa.

Disisi lain, kalau boleh disebut sebagai kelemahan sekaligus kekuatan gerakan mahasiswa dewasa ini, adalah cakupan persoalan yang diangkat sangat luas. Mulai dari dampak pembangunan massal seperti kasus Nipah, Proyek Kedung Ombo hingga penggusuran sebuah rumah dipinggiran kali. Mulai dari persoalan makro demokratisasi hingga skorsing rekan mereka. Kata kunci dari hampir semua gerakan protes mahasiswa adalah rakyat. Kata ini identik dengan sekelompok warga negara yang lemah dan tidak bedaya.

Sulit diingkari adanya anggapan dalam retorika jalanan bahwa konsep “rakyat” selalu dilawankan dengan keperkasaan negara. Istilah politik The strong goverment sangat populer di kalangan aktivis mahasiswa dan diterima secara apriori.

Dalam kaca mata negara dan konsep developmentalisme - nya acap kali gerakan mahasiswa itu dianggap sebagai faktor pengganggu. Kalau pada tahun 1960-an atau 1970-an kadang gerakan mereka masih dilihat segi positinya - misalnya dibentuknya komite anti korupsi setelah dikritik mahasiswa - sekarang cenderung kearah negasi - negasi. Hal ini tercermin dari lontaran - lontaran aparat negara dalam mengomentari suatu gerakan mahasiswa: Mereka tidak murni, ditunggangi, dibiayai asing, bahkan dituduh menggunakan cara - cara PKI.

Disamping itu, boleh dikata munculnya gerakan mahasiswa dewasa ini yang mulai pada penghujung 1980-an belum menampakkan gerakan maju. Para aktivis sering merasa tidak diperhatikan "perjuangannya" apabila negara menggunakan kebijakan akibat kritik - kritik mereka. Bahkan sering negara tak bergeming, bila mendapat kritik mahasiswa. Hanya penghapusan SDSB dan penundaan pemberlakuan UULAJR yang bisa dipakai sebagai contoh "keberhasilan" gerakan mereka yang tidak bisa dielakkan dari negara. )

Para aktivis mahasiswa tampaknya sudah patah arang dengan diskursus -diskursus kekuasaan dan negara. Mereka biasanya menyebut itu konsistensi. Tetapi yang lebih sering ini malahirkan gejala : melakukan gerakan merupakan tugas suci mahasiswa walau dengan resiko karir akademis aktivis mahasiswa sering terlantar.

2. ORIENTASI GERAKAN PMII 1980-an - 1990-an
" Eksponen 66", Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia telah menjadi salah satu pengak Orde Baru di Indonesia. Setelah melihat bahwa orde baru memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk masuk ke abad XX maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bergerak menyebarluaskan gagasan-gagasan modernisasi, dan mendukung tesis pembangunan sebagai syarat mengeluarkan Indonesia dari keterbelakangan dan keterpencilan. Gerakan itu untuk menyakinkan opini masyarakat, kritik-kritik pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia terhadap mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan namun tidak sesuai dengan pandangan pembaharuan, serta hubungan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang khas dengan kalangan kampus dan unsur-unsur masyarakat lainnya, semuanya merupakan sifat-sifat dari mahasiswa yang perlu diperhatikan. Secara keseluruhan, partisipasi besar dan kompleks dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ini pada periode penegakan Orde baru di bawah Jenderal Suharto tidak boleh dianggap enteng, terlebih bila dianggap seakan - akan tidak ada. Peranan Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia dalam Orde Baru ini berkisar pada tiga demensi, yaitu politik, ideologi dan kritik.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia pada periode ini terutama adalah sebuah pelaku politik. PMII yang lahir beberapa tahun sebelum munculnya angkatan '66 dipentas politik, mencerminkan pandangan - pandangan dari mahasiswa Nahdliyien, Pergerakan Mahasiswa islam Indonesia bersama - sama dengan kekuatan organisasi mahasiswa lainnya dengan dukungan secara diam - diam dari kalangan militer, memimpin dengan amat gencar aksi - aksi turun jalan dan kampaye politik terhadap rezim orde lama pada waktu itu.

Berkat reputasinya dalam berjuang melawan rezim orde lama, maka PMII menjadi animator dan lobby pemuda serta mahasiswa di Indonesia. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mengorganisir perjuangan melawan kekuatan - kekuatan rezim orde lama, dan menstimulir - berkat sikap mereka yang tegas - keterlibatan mahasiswa dan pemuda untuk berpihak pada orde baru. Dengan demikian ia menjadi kelompok penekan (Pressure Group) yang memihak pada kepentingan bangsa dan negara.

Apabila ditinjau secara lebih spesifik, maka sebab - sebab yang melatari aktivis politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dapat dilihat ke dalam organisasi itu sendiri dan ke dalam masyarakat yang melingkupinya. Secara Intern, adalah kombinasi dari pemahaman mereka terhadap keadaan masyarakat dengan keprihatinan mereka terhadap keadaan sosial ekonomi yang sedang dialami serta kekwatiran akan masa depan yang membangkitkannya untuk menentukan penelitian, sikap dan gerakan korektif. Disamping itu latar belakang sosial anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang mayoritas berasal dari lapisan menengah ke bawah, memungkinkan ia untuk cenderung mandiri terhadap struktur kekuasaan. Secara ekstern, kombinasi dari pemusatan kekuasaan yang berlebihan dengan kegagalan lembaga-lembaga politik untuk menunaikan fungsinya sebagai pelindung dan penampung aspirasi masyarakat, mendorong Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang cukup sarat dengan idealisme untuk tampil sebagai kekuatan kontrol dan korektif. )

Sebagai kekuatan alternatif, keterlibatan pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ternyata tidak bersifat permanen. Perubahan usia yang terkait dengan batasan waktu dan biaya studi yang dialami oleh masing-masing aktivis PMII dalam suatu gerakan, merubah komposisi aktivis sehingga suasana gerakanpun berubah. Disampping itu terjadi juga perubahan masalah yang menjadi pusat perhatian sehingga nilai urgensi dari gerakan politik mengalami perubahan juga. Dalam hal keutuhan aktivis dan urgensi gerakan menurun, maka kegiatan politikpun mengalami penurunan. Apabila penguasa tidak lagi mentolerir gerakan politik mahasiswa.

Untuk memahami gejala / pola gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), pada dekade 1980-an - 1990-an ini kita dapat memalingkan perhatian kepada tiga premis Utama, yaitu tentang faktor pendorong (motivasi), hakekat atau impak, dan akhir dari gerakan tersebut. Berbagai faktor seperti situasi sosial-ekonomi yang memprihatinkan kehidupan umum serta mahasiswa itu sendiri, ketidakadilan sosial, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap tidak adil, ketidakpuasan terhadap penguasa dan pemerintah, politik yang telah menjadi tidak demokratis, dan terutama kehidupan dunia kepemudaan dan khususnya dunia kemahasiswaan yang dianggap sudah terkooptasi oleh kekuatan negara, dapat dipandang sebagai akar dari Gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dewasa ini. Jika ditelaah lebih dalam keseluruhan latar belakang tersebut dapat dibedakan diantara penyebab yang menyangkut keseluruhan masyarakat, termasuk mahasiswa, dan penyebab yang lebih dirasakan oleh mahasiswa khususnya.

Kenyataan sejarah menunjukkan betapa besar peran Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam kebangkitan suatu gerakan politik mahasiswa di Indonesia. Seperti diperlihatkan pada awal-awal kebangkitan orde baru. Sekalipun kenyataan menunjukkan bahwa ada perbedaan fokus dan ketajaman perhatian dari gerakan PMII dalam kurun waktu 1960 s/d 1990-an.

Disamping itu perkembangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia didalam setiap periode tersebut memperlihatkan wataknya yang semakin berani dan cenderung radikal. Gagasan-gagasan yang menawarkan alternatif perubahan sosial dan politik, semakin mewarnai pemikiran politik aktivis-aktivis pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam dekade 1990-an ini.

Litigasi, Loby mahasiswa, Sharing, Surat Terbuka / Pernyataan, Mimbar Bebas, disamping aksi-aksi yang lain merupakan bagian dari gambaran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam kurun 1990-an dan menunjukkan suatu perubahan mendasar dalam gaya, arah dan bentuk gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sejak 1980-an. Hal tersebut menunjukkan bahwa periode sekarang ini secara politis tidak mandul dan apatis sebagaimana dikenal luas. Hal ini juga menunjukkan bahwa gerakan PMII dewasa ini sejalan dengan perubahan-perubahan dalam orientasi dan perhatian pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sekarang.

Jelas, bahwa gerakan PMII merupakan suatu fenomena dan faktor penentu yang bersifat kompleks dan majemuk, sehingga tidak bisa disederhanakan dengan hanya melihat satu fenomena saja. Sebagaimana yang secara gamblang dikemukakan oleh seorang mantan aktivis PMII ) "…….. Kita sebenarnya tidak bisa menjelaskan perubahan - perubahan kecenderungan politik yang terjadi dalam gerakan - gerakan kemahasiswaan". Keadaan ini menunjukkan bahwa aktivitas politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dewasa ini mencerminkan suasana baru di kampus dan di negeri ini. Jadi selain faktor-faktor yang secara tradisional mempengaruhi aktivisme PMII, misalnya, sentralitas peristiwa-peristiwa besar atau kondisi-kondisi di dalam masyarakat, karakteristik kelembagaan, discontinuitas generasi dan sebagainya, kenyataan ini menunjukkan bahwa sifat dan suasana gerakan berubah, maka begitu juga bentuk-bentuk gerakan yang diterapkan juga berubah.

Perubahan - perubahan dalam sistem politik nasional yang pada akhirnya membawa dampak pada bentuk dinamika ormas-ormas mahasiswa termasuk didalamnya PMII sendiri, menghadapi tantangan semacam ini, PMII dituntut tidak hanya bergumul dengan diri - sendiri, dengan kesejarahan dan realitas masa silam. Tetapi juga dituntut bergumul dengan dunia sekitarnya. PMII harus beradaptasi dengan kenyataan sejarah lain, yang karena itu ia harus ikut serta dalam proses dan ikut menjadi subjek untuk menentukan masa depan bangsanya.

Bahwa dinamika organisasi kemahasiswaan sangat terkait pada misinya, pandangan dan cita-citanya. Rumusan visi mahasiswa tentang masa depan ataupun pandangan dan cita-citanya, berhubungan erat dengan dinamikanya. Dalam hubungan ini jelas bahwa visi, pandangan dan cita-cita PMII berkaitan dengan masyarakatnya yaitu masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa dinamika PMII berkaitan dengan visi tentang masyarakat Indonesia yang ideal. Dinamika PMII disini, berhubungan erat dengan cita-cita masyarakat Indonesia.

Disamping itu, sikap kritis, yang amat dibutuhkan, berkaitan dengan PMII, adalah yang mendorong para aktivis PMII secara dinamis, melihat secara tajam masyarakat yang dicita-citakan. Sikap kritis ini adalah sikap yang mampu merumuskan visi, pandangan dan cita-cita mahasiswa secara umum tentang masyarakat yang ideal. Masyarakat tersebut adalah masyarakat Pancasila yang adil dan makmur.

Berdasarkan sikap kritis ini, masyarakat yang dicita-citakan adalah bukan masyarakat dimana perkembangan produksi, ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan rasionalitas, dimana manusia menjadi terasing karena resepsi dan irrasionalitas. Sekalipun masyarakat ini mengalami perkemabangan dan kemajuan industri, ilmu pengetahuan dan Tekhnologi, ia menimbulkan resepsi dan ketidakbebasan terhadap warganya. Masyarakat Indonesia justru menekankan pada "Kesejahteraan Yang Berkeadilan Sosial sekaligus menegakkan kesatuan nasional" sehingga memberikan kebebasan serta kemandirian bagi warganya.

Secara gamblang, dapat dikatakan bahwa visi, pandangan dan cita-cita PMII tentang masyarakatnya, yang menggambarkan adanya dinamika, adalah masyarakat yang adil dan makmur dimana masyarakat adalah multidemensional, atau dengan istilah yang kita kenal "Manusia Seutuhnya" - selaras dengan pandangan nilai-nilai dasar pergerakan (NDP) PMII.

Dengan demikian, katika PMII dengan sikap kritisnya mampu merumuskan masyarakat yang dicita-citakan, maka sikap ini terkait dengan kemampuannya untuk bersikap mandiri (Independent).

Sikap mandiri itu artinya "pembebasan manusia dari ketidak dewasaan yang diciptakan sendiri". Ketidakdewasaan ini adalah ketidak mampuan manusia untuk memakai pengertian tanpa pengarahan orang lain. Diciptakan sendiri, berarti ketidak matangan ini tidak disebabkan oleh karena kekurangan dalam akal budi, melainkan karena kurangnya ketegasan dan keberanian untuk memakainya tanpa pengarahan orang lain. Kemandirian (independen) berarti keberanian untuk memakai akal budi, kemampuan ntuk menggunakan penalaran yang objektif dan kritis (Deklarasi Murnajati : 1971).

Dengan independensi PMII, artinya bahwa segenap pola perilaku dan berbagai pilihan peran yang hendak diambil, adalah berdasar kepada kebenaran dan objektivitas seperti yang diyakini PMII. Artinya kemandirian dalam mengambil sikap dan tindakan, tidak terpengaruh dan depend on kepada kekuatan dan tantangan apapun harus menyuarakan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Hal itu menjadi penting, ketika kita memaknakan kembali idependensi PMII. Sebab dengan kematangan dan kemandirianlah yang menjadi tuntutan perkembangan. Apalagi kesadaran sebagai bagian dari kekuatan moral maka independensi adalah modal utamanya.

PMII mempunyai potensi yang besar, khasanah kesantrian, keterbukaan sikap, inklusif, bebas, sekaligus transenden dan paguyuban yang masih kental ditengah berbagai tarkan individualisme dan fragmatisme. Sifat dan karakter kolektif tersebut telah menjadi semangat hidup organisasi. )

Dengan ciri, sikap dan kemampuan untuk mandiri sangat kritis, maka dinamika PMII terlihat berkembang, karena itu ia akan mampu melihat masalah-masalah mendasar dalam rangka berkiprah di tengah mesyarakatnya yang giat membangun.
Dalam konteks ini, sejalan dengan konteks dinamikanya, PMII berusaha menempatkan etika kiprah dirinya dalam gerakannya secara lebih sentral dan proporsional. Rumusan etika ini kita dapati secara formal dalam NDP maupun AD/ART, namun secara praktis masih diperlukan rumusan penjabaran dalam langkah-langkah nyata.

Dalam hal ini harus dipahami, bahwa dalam ketentuan-ketentuan tentang etika bukan hanya ketentuan masa depan saja atau sering disebut dengan "tujuan", tetapi ketentuan etika yang berlaku masa sekarang. Pemahaman tentang etika semacam ini penting karena hal ini berarti bahwa etika yang dianut PMII berdasarkan pada suatu pandangan yang tepat. Pandangan etika menggangap bahwa suatu tindakan atau rencana adalah baik ketika tujuan dan hasilnya berguna dan baik tetapi juga sekaligus sesuai dengan ketentuan - ketentuan aturan yang berlaku.

Rumusan etika yang berlaku untuk masyarakat Indonesia seperti yang dipahami oleh PMII adalah menekankan pada keseimbangan antara hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dengan kewajiban dharma baktinya, atau dengan kata lain, keseimbangan antara "ability" dan "need". Hak untuk menikmati atau hak untuk memenuhi kebutuhan dari tiap-tiap warganya, tidak berarti berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan nilai darma baktinya untuk bangsa dan negaranya. )

Perubahan, ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan. Dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik. Kita dapat melihat adanya perbedaan fungsi itu dalam setiap periode gerakan, sesuai dengan kondisi umum masyarakat yang melingkupi kehidupan mahasiswa.

Berbeda dengan keadaan di negara-negara maju, di Indonesia, karena lembaga-lembaga politik belum berungsi sepenuhnya, maka gerakan mahasiswa dipandang sebagai alternatif pelaksanaan fungsi lembaga tersebut. Perubahan yang mereka inginkan diperjuangkan sendiri melalui gerakan politik praktis-sehingga timbul istilah "Parlemen jalanan".

Tidak berfungsinya lembaga politik untuk menampung aspirasi dan meredam gerakan politik mahasiswa serta besarnya impak politik yang mungkin ditimbulkan oleh aktifitas seperti itu, menggugah penguasa dan pemerintah Indonesia untuk mengantisipasinya, misalnya dengan menggunakan otoritas kekuasaan, tekanan fisik, pengawasan, pengendalian, serta hukuman dimanfaatkan untuk membendung dan menyelesaikan arus gerakan mahasiswa, hal ini diperlihatkan pemerintah dalam menyikapi gerakan mahasiswa tersebut sejak dekade tahun 1970-an sampai kurun 1990-an.

Masih bisa diperdebatkan memang, apakah pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) - termasuk organisasi mahasiswa lainnya - berperan dalam menumbangkan sebuah rezim dan melicinkan jalan bagi penguasa baru untuk naik tahtah ?, jika memang berperan, seberapa besar andil PMII, baik dalam kemelut politik pada saat tertentu maupun peran sosialnya dalam konteks sejarah yang lebih luas. Rasanya rentang waktu tiga dekade sejarah tentang gerakan PMII di negeri ini lebih dari cukup untuk memetakan posisi lalu menilai peran PMII ini.

Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya higemoni Negara Orde Baru (NOB). Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang diorganisasikan oleh KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) sepanjang tahun 1960-an untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI, kejatuhan rezim Orde Lama dan tampilnya Jenderal Soeharto ke pucuk pemerintahan itu, seakan meledakkan semacam praktek diskursif ) tentang arti penting gerakan dan peran PMII dalam proses perubahan sistem politik.

Ketika terjadi disintergrasi dalam KAMI dan mulai muncul persoalan-persoalan bagaimana mendifinisikan peran mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas dan masa depan para eksponen angkatan 1966, akhirnya setelah isu Back to Campus muncul di akhir tahun 1960-an, PMII tampaknya mulai memalingkan orientasi gerakannya, dari gerakan yang bersifat politik praktis kearah gerakan yang bersifat intelektual atau intelegensia.

Perubahan orientasi gerakan ini bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan konsep "Moral". Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan, melalui suatu kekuatan moral (Moral force) yang secara aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita bangsa dan negara. Tugas dan peran pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam konsep ini, melakukan kritik dan koreksi terhadap situasi sosial yang dianggap menyimpang. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan kaum terpelajar lainnya turun ke jalan jika terjadi ketidak beresan dan kekacauan dimasyarakat, dengan tugas melancarkan kritik dan koreksi sosial terhadap penguasa. )

Kendati demikian, pada hampir semua tingkat, anggapan dan peran tentang gerakan PMII yang berkembang kemudian tak selalu sejalan dengan anggapan pemerintahah (termasuk aparat birokrasi kampus) . Adanya pejabat tinggi negara yang membalas gerakan dan kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mahasiswa telah "Ditunggangi"

Istilah "ditunggangi" itu menunjukkan bahwa negara sangat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan mahasiswa. Protes dan kritik dalam bentuk demontrasi sekalipun, diperbolehkan sejauh kritik dan protes itu tidak keluar dari batas-batas panggung politik (baca : sistem politik) yang ditentukan oleh negara itu sendiri.

Tuduhan ditunggangi" merupakan sebuah rambu peringatan agar mahasiswa tidak keluar dari "Skenario". Dalam melakukan kritik juga tidak boleh mengancam stabilitas keamanan dan pembangunan nasional.

Kenyataan ini telah menghadapkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia pada dua pilihan : Berkolaborasi atau beroposisi dengan kekuasaan. Terlepas apakah keadaan tersebut berangkat dari kesengajaan atau ketidakberdayaan, yang jelas rezim Orde Baru hanya memberi ruang "kreasi" selama ia berjalin sejalan dengan kebijakan pemerintah. Dan tawaran kedualah yang menjadi pilihan PMII.

Kondisi demikian telah menjadi kenyataan kultural yang mewarnai corak dan sikap sebagian kader-kader PMII yang lahir belakangan (1980-an sampai 1990-an). Mereka terlatih untuk lebih tertarik memperjuangkan idealisme kulturalnya daripada menikmati arena politik. Mereka lebih banyak belajar bagaimana mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi masa depan daripada menikmati kursi kekuasaan.

Karena itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa ia tidak bermain mata dengan kekuatan politik manapun, karena perannya memang bukan merebut kekuasaan, melainkan hanya melakukan koreksi dan kritik sosial demi suksesnya pembangunan. Karena gerakan perjuangan PMII bukan pada level politik partai-partai, sehingga dengan leluasa melakukan propaganda dan agitasi politik demi menundukkan wakilnya di jabatan-jabatan politik.

PMII hanyalah media untuk memperkenalkan diri pada aktivitas, beserta tawaran gagasan, cita-cita, obsesi dan program kerja yang hendak diaktualisasikannya. Karenannya, wilayah politik PMII adalah upaya penyadaran akan hak-hak kewarganegaraan dalam ikut menentukan arah dan orientasi bangsa.

Hal ini menjadi urgen, karena bagi PMII persoalan sistem ketatanegaraan saat ini bukanlah produk final. Finalnya bentuk negara bagi PMII tidak berarti final pada tatanan sistem. Sistem akan terus - menerus diperbaiki, diperbaruhi dan dirumuskan secara objektif sesuai dengan konteks perubahan masyarakat. Dan pada, tatanan inilah PMII dan warna negara lainnya berhak mendiskusikan sistem pemerintahan seperti apakah yang paling adil, yang mampu memberdayakan warga negaranya. )

Persepsi tentang peran sosial politik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sebagai kekuatan moral tidak pernah pudar, hal ini dibuktikan dengan langkah besar dan bersejarah yang dilakukan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia diawal tahun 1970-an, yaitu menyatakan diri sebagai organisasi mahasiswa "Independen" yang dikenal dengan "Deklarasi Murnajati", hal ini juga berarti bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia hanya konsisten dengan gerakan - gerakan kemahasiswaan dan menolak melakukan afiliasi dengan kekuatan non-mahasiswa, serta memandang dirinya sebagai perwujudan sosok resi yang sejati.

Gema panggilan untuk berperan senantiasa muncul kepermukaan dengan idealisme yang dulu pernah disuarakan, bahkan diselipkan dengan kisah baru untuk berperan dalam pembangunan. ) Gejala perubahan orientasi gerakan yang dilakukan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah dengan mencoba meluruskan persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilema bagi etos gerakannya, yakni pilihan antara gerakan politik atau gerakan moral, dengan membongkar apa yang sebenarnya pernah dilakukan pada periode-periode sebelumnya.

Memasuki dekade 1980-an persepsi tentang pola gerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia sedikit bergeser. Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para aktivis mahasiswa akibat pergerakan Mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan, Universitas semakin ketat dikontrol oleh negara melalui aparat birokrasi Perguruan Tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya malakukan tindakan represi terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap bidang kritik dan protes, tetapi juga dengan sistematis dan terencana negara merubuhkan gerakan - gerakan yang coba dibangun mahasiswa diluar sistem yang disediakan negara.

Walaupun demikian, masih ada optimisme bahwa gerakan mahasiswa mungkin sudah ditakdirkan demikian, timbul tenggelam, pasang surut, dalam pentas - pentas yang disediakan negara, ditolak sekaligus dibutuhkan, supaya penguasa yang kini bertindak sebagai produser merangkap sutradara mudah mengarahkan jalannya cerita. Setelah porak Poranda akibat NKK / BKK. ) Seorang mantan aktivis mahasiswa yang menyadari akan keterbatasan gerakan mahasiswa-pun, dengan metafora indah, masih berharap bahwa "Gerakan Mahasiswa mungkin memang sebuah tuntutan zaman, yang mengandung kebesaran serta rohnya sendiri". Sehingga kehadiran dan aspirasi yang mereka bawakan perlu ditangkap dengan tenang dan dijadikan rohnya sendiri, ) Roh itulah yang coba diisi dan tampaknya menghidupkan kembali peran pergerakan mahasiswa islam indonesia sebagai "pembela rakyat tertindas" tetapi disesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah.

Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi yang mengeras dari birokrasi universitas, tak ada pilihan lain bagi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukannya serta melakukan otokritik terhadap gerakan - gerakan sebelumnya. Aktivitas politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan, karena resiko terlalu besar yang harus ditanggung, yakni dipecat dari Universitas atau kehilangan status istemewanya sebagai mahasiswa. Karena itu, kita saksikan Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia dalam periode dekade 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan "kontemplasi". Artinya, walaupun konsep BKK berhasil dihambat pada kampus - kampus utama di Jawa, tetapi sebagian tujuan dari konsep NKK berhasil diterapkan, yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai "agen politik praktis" tetapi sebagai "man of analysis" ) Roh tadi kemudian ditangkap dan dijadikan semangat zaman yang membentuk subjektifitas mahasiswa dan dibenturkan dengan kondisi objektif sosial - ekonomi yang sudah berubah. Hasil dari benturan ini adalah hadirnya kesadaran subjekti yang baru tentang konsepsi "kerakyatan", yaitu disatu sisi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar dan disisi lain menolak realitas intervensi kekuatan negara. ) Maka perumusan cita - cita sosial Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah "Membangun Kekuatan Rakyat". )

Dalam konteks ini perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan upaya yang sungguh - sungguh untuk menemukan sintesa antara "pilihan model gerakan moral termasuk kritisisme terhadap peranan Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia sebagai resi" dan "panggilan untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan mahasiswa 1966". Disatu pihak, perumusan kesadaran subjektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari model peran yang lebih strategis serta kultural, dan dilain pihak upaya itu sekaligus dapat mengatasi dilema atau ambivalensi naif yang selama membelenggu kesadaran para aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas politik dan gerakan politik yang memihak. ) Perumusan tersebut tampaknya menemukan saluran praktisnya kedalam organisasi non-pemerintah, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat atau Lembaga Pengembangan swadaya Masyarakat (LSM/LPSM). )

Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang lebih luas, upaya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia untuk keluar dari mitos gerakan - gerakan sebelumnya dan menemukan perannya sendiri yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman, dalam sebuah retrospeksi yang menarik disekitar akhir dekade 1980-an. ) Tolak ukur lama seperti model gerakan yang tercermin dalam gerakan tahun 1966, 1974 dan 1978 tampaknya seperti menjadi beban sejarah. Dalam menimbang bagaimana menuntaskan hal ini, merumuskan cita - cita tentang demokrasi dan keadilan sosial. Sekarang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia belum terlambat menolak kekalahan dan juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi dan Keadilan sosial. Namun kunci keberhasilan peran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia justru terjadi ketika ia mampu meniadakan "Mitos Kesinambungan" yang menenggelamkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran diluar dirinya. ) Dengan memposisikan diri agen of democrasy, maka lakon yang harus dimainkan oleh Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia menjadi lebih "Politis" dan struktural sifatnya. )

Dengan retorika "Demi Rakyat", "demi Demokrasi", dibarengi dengan pengalaman belajar bersama LSM/LPSM, maka ruang gerak dipinggiran panggung, yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi, kini tidak lagi berada dalam kampus. Pergeseran ini agak meleset dari perkiraan semula, bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi mahasiswa dan akibat kontrol birokrasi Universitas yang sangat ketat, aktivitas politik mahasiswa akan dapat dijinakkan. Kenyataannya tidak demikian, disamping kelompok - kelompok kecil independen yang dibentuk diluar maupun didalam kampus untuk tujuan diskusi maupun studi, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan (non-partai) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan diperjuangkan oleh mereka. Oleh karena itu, beberapa saat kemudian, subjektifitas yang diteriakkan itu bertemu dengan persoalan - persoalan kongret yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, yakni para petani yang kehilangan tanahnya, pedagang kaki lima yang tergusur, dan beberapa kalangan menengah kebawah kota yang terkena penggusuran tanah serta buruh - buruh pabrik yang di PHK secara semena - mena. PMII menemukan penampilan atau perannya yang khas lewat komite - komite sebagai juru bicara "rakyat teraniaya" dalam memperjuangkan hak-hak rakyat dalam bentuk aksi dan advokasi terhadap para "korban pembangunan " tersebut.

antisipasi PMII masa depan

BAB VII

ANTISIPASI PMII MASA DEPAN
(1988-1991)

A. PENGESAHAN RUMUSAN NDP PMII
Seperti telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa perumusan PMII merupakan amanat sejarah, sebab sejak kongres V di Ciloto, Bogor Jawa Barat 1973 telah diputuskan bahwa perumusan tersebut sangat urgen dan harus segera disusun. Beberapa upaya untuk memperlancarkan perumusan NPD itu telah dilakukan sejak tahun 1973, misalnya berupa pemberian amanat kepada PB PMII periode tertentu untuk merampungkan perumusan dimaksud. Perjalanan panjang perumusan NPD tersebut menunjukkan bahwa masalahnya tidak sederhana. Mengingat rumitnya masalah atau kesulitan teknis dalam mengorganisasikan ikhtiar perumusannya. Upaya itu terus belangsung hingga kongres IX tahun 1988 di Surabaya. Tampak bahwa rumusan yang disyahkan Kongres IX merupakan rangkaian tahap yang menentukan dalam waktu lima belas tahun ikhtiar itu, terlihat juga pada pembahasan dalam kongres IX. Sidang komisi NDP PMII dalam kongres IX berlangsung paling lama dan selesai paling akhir dari komisi-komisi lainnya.

Adapun tokoh – tokoh PMII yang terlibat aktif dalam penyusunan dan perumusan NPD PMII ini – disamping tim inti dan tim pembantu penyiap bahan – bahan NDP PMII – antara lain : Ds. Arifin Junaidi (Jakarta), Drs. Kusmin Busyairi, Drs. Abdul Malik Madany, dan Drs. Masyur Amin (ketigany dari Yogyakarta) berindak sebagai nara sumber tim, Drs. Noer Iskandar al Barsany (Purwokerta) serta Drs. H. Yusuf Muhamad (Jember).

Cara Merumuskan NDP PMII

NDP PMII dirumuskan sebagai pandangan yang mencerminkan keyakinan terhadap islam sebagai keyakinan mutlak tertinggi dan universal. Mencerminkan pemahaman terhadap Islam menurut paradigma pemahaman Ahlussunah wal Jama’ah mencerminkan kesadaran sejarah dan kesadaran sosial (islam, ummat manusia dan Bangsa).

Secara essensial nilai dasar pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan pendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi nilai dasar pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, Syari’ah dan akhlak dalam upaya memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut PMII menjadikan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang dianggap paling mendekati kebenaran. Bagi PMII, NDP ini akan berfungsi sebagai :

a. Sebagai landasan berpijak, yaitu setiap gerak langkah dan kebijaksanaan yang harus dilaksanakan.
b. Sebagai landasan befikir, bahwa NDP adalah menjadi dasar pendapat yang dikemukakan terhadap persoalan yang dihadapi.
c. Sebagai motivasi, NDP harus menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.

Sedangkan kedudukan NDP bagi PMII adalah sebagai rumusan nilai – nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan kegiatan PMII, landasan dan dasar pembenar dalam berfikir, bersikap dan berperilaku.

NDP PMII yang akhirnya diputuskan dalam kongres IX PMII tanggal 14 – 19 September 1988 di Surabaya – Nomor : VIII/Kong – PMII/IX/’88 – secara garis besar meliputi :

A. Pengertian
B. Kedudukan
C. Fungsi
D. Rumusan NDP PMII, meliputi :
1. Tauhid
2. Hubungan Manusia dengan Allah
3. Hubungan Manusia dengan Manusia
4. Hubungan manusia dengan Alam
5. Budaya dan Tradisi
6. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(selengkapnya lihat dokumen historis)

B. GAGASAN PERUBAHAN NAMA PMII MENJADI PMRI

Gagasan perubahan nama PMII (Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia) menjadi PMRI (Pergerakan Mahasiswa Republik Indonesia) ini muncul ketika menjelang berlangsungnya kongres PMII ke IX di Surabaya. Saat itu beberapa orang aktivis PMII, antara lain Drs. H. andy Muarly Sunrawa, kapasitasnya sebagai ketua PB PMII dan Drs. Isa Muchsin sebagai sekretaris Jenderal PB PMII periode 1985 – 1988, mereka berpendapat bahwa usulan perubahan nama ini di dasarkan pada pemikiran bahwa : “Simbol – simbol ideologis keagamaan yang melekat pada organisasi kader, sangat tidak mendukung perjuangan kebangsaan. PMII sebagai organisasi kader bangsa hendaknya berfikir strategis dalam spektrum kebangsaan. Sejak kelahirannya, PMII telah mengedepankan missi keIndonesiaan. Hal ini terwujud dalam mukaddimah AD/ART PMII ideologi negara falsafah Pancasila, menjadi kewajiban setiap warga negara baik secara perorangan maupun secara bersama – sama untuk mempertahankan dan melaksanakannya dengan segala tekad dan kemampuan”.

Namun gagasan tersebut tidak diterima oleh forum kongres, yang akhirnya perubahan nama tersebut hanya menjadi lontaran ide belaka tanpa reaksi dari peserta kongres, ) sehingga seorang mantan ketua umum periode pertama yaitu sahabat Mahbub Junaedi, dalam pidatonya mengatakan : bahwa perubahan nama atau yang menghendaki nama PMII menjadi PMRI itu hanya spekulasi belaka dan anggaplah hal tersebut angin lalu. Bahkan dengan gayanya yang khas Mahbub bilang, mendengar nama PMRI kok seperti mendengar nama bus DAMRI. ) Dengan demikian nama PMII tetap menjadi PMII seperti yang ada sekarang.

Langsung atau tidak, dengan munculnya isu yang bernuansa kebangsaan itu, tidak kurang dari 10 Menteri atau setingkat menteri dan tokoh – tokoh Parpol hadir dalam kongres IX tahun 1988 di Surabaya itu. Jika salah satu ukuran keberhasilan sebuah kongres adalah kesediaan para Menteri dan tokoh – tokoh parpol hadir di arena kongres, maka inilah kongres paling sukses dalam sejarah PMII. Tidak hanya itu, media massa pusat maupun daerah juga meliput jalannya konges tersebut. )

Semaraknya kongres di Surabaya yang mengakhiri masa kepemimpinan Surya Dharma Ali, akhirnya memilih Iqbal Assegaf sebagai ketua umum, yang bersaing dengan Saifullah Ma’shum MS, dengan Abdul Khalik Ahmad sebagai sekretaris Jenderal periode 1988 – 1991. Adapun susunan Pengurus Besar PB PMII hasil sidang formatur secara lengkap, sebagai berikut :

SUSUNAN DAN KOMPOSISI PB PMII
(Periode 1988 – 1991)
Hasil Kongres di Surabaya

Ketua Umum : Muhammad Iqbal Assegaf
Ketua : Drs. Endin AJ Sofihara
Ketua : Drs. Dhani Ramdhani
Ketua : Drs. Ibnu Anshori, SH
Ketua : Dra. Khofifah

Sekretaris Jenderal : Drs. Abdul Khalik Ahmad
Wakil Sek-Jen : Drs. M. Syukur Sabang
Sekbid Organisasi dan
Komunikasi : Ds. Fajrun Najah Ahmad
Sekretaris bidang Kader : Drs. Masrur Ainun Najih
Sekbid Pengembangan Studi
dan Ilmu Pengetahuan : Iskandar Ahza
Sekbid Pengolahan data
Informasi dan Dokumentasi : Effendy choirie
Sekretaris Bidang Da’wah dan
Pengabdian Masyarakat : Agus Koes Sam
Sekbid Hubungan Organisasi
Islam, Pemuda dan Mahasiswa : Ir. M. Rusydi Tutupoho
Sekretaris Bidang Olah raga
dan Seni Budaya : Drs. A. Fathoni Mukhlis
Sekbid Hubungan Luar Negeri
dan Kerja sama Internasional : Drs. Shopyanuddin
Sekretaris Bidang KOPRI : Dra. Ulha Soraya
Bendahara : H. Rahmadi HB, BA
Wakil Bendahara : M. Surkhan Suhaemi


KELENGKAPAN PENGURUS BESAR
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
(Periode 1988 – 1991)

A. LEMBAGA / BADAN OTONOM

1. Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM)
Ketua : Drs. Ali Masykur Musa
Berkedudukan di : Jember Jawa Timur

2. Lembaga Da’wah Dan Pengabdian Masyarakat (LDPM)
Ketua : Drs. Ahmad Muqowwam
Berkedudukan di : Semarang Jawa Tengah

3. Lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK)
Ketua : Munzir Ahmad Syukri
Berkedudukan di : Bandar Lampung-Lampung

4. Lembaga Pers (LP)
Ketua : Chaidir
Berkedudikan di : DKI Jakarta

5. Lembaga Studi dan Pengembangan Hukum (LSPH)
Ketua : Abdurrahim Nasution SH
Berkedudukan di : DKI Jakarta

6. Lembaga Pusat Penelitian (BAPUSLIT)
Ketua : Drs. Mundiharno
Berkedudukan di : DKI Jakarta

B. MAJELIS PEMBINA NASIONAL

1. Dr. Yahya Umar
2. Drs. H. Muhyiddin Arubusman
3. Drs. H. Ahmad Bagdja
4. Drs. H. Wahiduddin Adams
5. Drs. Musthafa Mas’ud
6. Rozy Munir, SE. MSc
7. Drs. Munir Sonhaji, Med.

PB PMII pada bulan Oktober 1989, berdasarkan hasil evaluasi selama perjalanan satu tahun kepengurusan, melakukan penyegaran PB PMII, hal ini dilakukan untuk lebih mendaya gunakan fungsionaris PB PMII, sehingga amanat Kongres dapat dilaksanakan dengan baik, dan mekanisme organisasi dapat berjalan, sesuai dengan tata kerja PB PMII yang telah ditetapkan. Kepengurusan PB PMII hasil penyegaran (resuffle), dapat dilihat seperti di bawah ini.

SUSUNAN DAN KOMPOSISI PB PMII
(Periode 1988 – 1991)
Hasil Reshuffe

Ketua Umum : Drh. Muhammad Iqbal Assegaf
Ketua : Drs. Endin AJ Sofihara
Ketua : Drs. Muhammad Syukur Sabang
Ketua : Drs. Umarsyah Hasan
Ketua : Dra. Khofifah
Sekretaris Jenderal : Drs. Abdul Khalik Ahmad
Wakil Sek-Jen : Drs. M. Fathoni Mukhlis
Sekbid Organisasi dan
Komunikasi : Drs. Shopyanuddin
Sekretaris bidang Kader : Drs. Masrur Ainun Najih
Sekbid Pengembangan Studi
dan Ilmu Pengetahuan : Muhammad Afrokhi
Sekbid Pengolahan data
Informasi dan Dokumentasi : Agus Koes Sam
Sekretaris Bidang Da’wah dan
Pengabdian Masyarakat : Drs. H. Hamid Ahmad
Sekbid Hubungan Organisasi
Islam, Pemuda dan Mahasiswa : Ahmad Djuanda Sahal
Sekretaris Bidang Olah raga
dan Seni Budaya : Ir. M. Rusdi Tutupoho
Sekbid Hubungan Luar Negeri
dan Kerja sama Internasional : M.Rofiqul Umam Ahmad, SH
Sekretaris Bidang KOPRI : Dra. Ulha Soraya
Bendahara : M. Surkhan Suhaemi
Wakil Bendahara : Ahmad Hadiyin


LEMBAGA / BADAN OTONOM

1. Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM)
Ketua : Drs. Ali Masykur Musa
Berkedudukan di : Jember Jawa Timur

2. Lembaga Da’wah Dan Pengabdian Masyarakat (LDPM)
Ketua : Drs. Fajrun Najah Ahmad
Berkedudukan di : DKI Jakarta

3. Lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK)
Ketua : Drs. Ibnu Anshori , SH
Berkedudukan di : Surabaya Jawa Timur

4. Lembaga Pers (LP)
Ketua : Drs. Johar Ma’mun
Berkedudikan di : DKI Jakarta

5. Lembaga Studi dan Pengembangan Hukum (LSPH)
Ketua : Darmansyah Sembiring
Berkedudukan di : DKI Jakarta

6. Lembaga Pusat Penelitian (BAPUSLIT)
Ketua : Drs. Mundiharno
Berkedudukan di : DKI Jakarta


C. PENATAAN STRUKTUR ORGANISASI

PB PMII periode 1988 – 1991 ini melakukan penataan struktur organisasi secara menyeluruh, mulai koordinator cabang -cabang, Komisariat dan rayon, dengan pembakuan struktur organisasi yang disesuaikan dengan tuntutan organisasi secara nasional. Penataan struktur tersebut direfleksikan dalam bentuk penyeragaman komponen pada setiap struktur organisasi di semua tingkatan organisasi, yakni adanya majelis Pembina Daerah, Badan Pengurus harian, dan anggota – anggota pada tingkat kepenggurusan Koordinator cabang. Majels Pembina cabang, Badan Pengurus harian dan Departemen – departemen, serta badan penelitian dan pengembangan cabang dengan jumlah anggota majelis dan pengurus yang telah ditetapkan. Begitu juga nama – nama departemen pada tingkat kepengurusan cabang di seluruh Indonesia.

Di samping itu, PB PMII juga menertibkan sistem Administrasi kesekretariatan dalam bentuk Pedoman Penyelengaraan Tertib Administrasi (PPTA), yang berisi panduan praktis surat – menyurat, pembuatan dan penggunaan atribut organisasi, dan panduan – panduan lain yang berkaitan dengan mekanisme kesekretariatan yang berlaku secara nasional di lingkungan PMII. PPTA ini diberlakukan untuk pertama kalinya di tingkat Pengurus Besar dan secara bertahap mulai dilakukan oleh Koordinator cabang dan cabang – cabang, sampai pada tingkat yang terbawah dalam struktur organisasi, yakni komisariat dan rayon secara nasional.

Untuk mengetahui potensi PMII secara keseluruhan, PB PMII melakukan pemantauan terhadap kegiatan – kegiatan Koordinator cabang dan cabang, serta potensi anggota dan pengurus melalui edaran PB PMII tentang laporan kegiatan, Biodata pengurus harian Koordinator cabang - cabang, dan jumlah anggota di setiap cabang seluruh Indonesia. Disamping itu PB PMII melalui penerbitan dan sosialisasi Kartu Anggota (KTA) yang dikoordinasikan oleh pengurus besar dan dikeluarkan oleh pengurus cabang.

Jumlah anggota PMII di seluruh Indonesia sampai dengan bulan September 1991 berjumlah 364.000 (tiga ratus enam puluh empat ribu) orang, yang terdiri dari 9 koordinator cabang dan 77 cabang di seluruh Indonesia.

Dibidang Korp PMII Puteri (KOPRI), PB PMII melakukan penataan khusus terhadap kelembagaan KOPRI melalui kegiatan Pra-Mubes KOPRI yang dikoordinasikan oleh PB KOPRI dan dilaksanakan oleh cabang Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 25 – 30 juni 1990 dan cabang Malang, Jawa Timur pada tanggal 18 – 23 juli 1990. Dalam kegiatan ini dibicarakan tentang eksistensi dan mekanisme kerja KOPRI, direalisasikan dengan menyelenggarakan latihan Kepemimpinan Kader KOPRI pada 7 – 11 September 1991 di Surabaya yang diikuti oleh 10 cabang di pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. )

D. MUSYAWARAH BESAR (MUBES) IV PMII DI JAKARTA

Musyawarah Besar (Mubes) IV PMII di selenggarakan pada tanggal 11 – 16 September 1990 yang diikuti oleh 7 Koordinator cabang di seluruh Indonesia. Mubes IV ini berhasil menetapkan beberapa keputusan penting, antara lain :

1. Petunjuk Praktis (Juktis) Pendidikan Kader PMII
Petunjuk Praktis (Juktis) ini berisi panduan teknis dan praktis yang meliputi latihan Kader Dasar (LKD), latihan Kader Menengah (LKM) dan latihan Kader
Lanjutan (LKL) – sekarang = PDK dan PKL – berikut silabus materi latihan, yakni materi – materi dasar dan wawasan yang harus diberikan pada masing jenjang pelatihan, serta naskah pelantikan anggota baru, Kader dan Penggurus.

Keputusan ini didasari oleh pemikiran bahwa kualitas kepemimpinan organisasi ditentukan antara lain oleh sistem kaderisasi yang terarah, terencana dan berkesinambungan serta terefleksikan dalam proses rekrutmen kepemimpinan yang selektif atas dasar prestasi dan objektifitas.

2. Pedoman Penyelenggaraan Tertib Administrasi (PPTA) Dan Tinjauan Hukum PMII.
PPTA ini merupakan serangkaian aturan mengenai penyelengaraan organisasi dengan administrasi yang meliputi tertib kesekretariatan dan atribut organisasi yang berlaku tunggal untuk semua tingkatan organisasi PMII secara Nasional.

Hal ini didasari pemikiran, bahwa keutuhan dan kesatuan gerak organisasi tercermin antara lain pada sistem tertib administrasi yang diterapkan oleh organisasi yang besangkutan. Dalam upaya mewujudkan sistem administrasi yang dapat menunjang berjalannya mekanisme kerja organisasi di lingkungan PMII, maka dipelukan adanya seperangkat aturan sebagai upaya unifikasi aturan yang wajib dilaksanakan dan disosialisasikan terus menerus agar menjadi tradisi organisasi yang baik dan positif dalam rangka pelaksanaan program organisasi guna mencapai tujuan.

Disamping itu, adanya sistem administrasi itu juga untuk menegakkan wibawa dan disiplin bagi organisasi bagi segenap anggota dan fungsionaris di seluruh tingkatan organisasi secara vertikal. Oleh karena itu terbitnya PPTA merupakan jawaban aktual ditengah – tengah mendesaknya keperluan akan adanya pedoman yang terlaksana secara nasional di lingkungan PMII dari tingkat pengurus besar sampai tingkat Rayon.

3. Pedoman Penyelenggaraan Permusyawaratan Organisasi
PPPO ini merupakan serangkaian aturan mengenai penyelenggaraan permusyawaratan tertinggi di tingkat koordinator cabang - cabang, komisariat dan rayon PMII secara nasional.

Kehadiran sebuah PPPO bagi PMII merupakan tuntutan konsolidasi sekaligus upaya peningkatan kualitas organisasi. Untuk itu, dipandang perlu melakukan beberapa ikhtiar sebagai upaya demokratisasi dalam kehidupan organisasi melalui penyempurnaan mekanisme permusyawaratan yang belaku secara nasional di lingkungan PMII.

4. Pokok – Pokok Pemikiran dan Rekomendasi
PMII menilai bahwa pembangunan nasional yang menjadi obsesi seluruh masyarakat Indonesia telah menunjukkan perkembangan dan kemajuan. Namun bersamaan dengan itu masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam menentukan kebijakan yang pada akhirnya menghasilkan dampak negatif. Pembangunan Nasional yang berhakekat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya masih jauh dari yang dicita – citakan. Oleh karena itu dengan niat dan itikad yang tulus iklas yang disemangati oleh keterpaduan wawasan keislaman dan keIndonesiaan. PMII melalui musyawarah besar (MUBES) IV menyampaikan pokok – pokok pikiran demi kesempurnaan pelaksanaan pembangunan nasional. Pokok – pokok pikiran yang menjadi perhatian PMII adalah meliputi bidang :

a. Bidang agama dan moral
b. Bidang Politik
c. Bidang ekonomi
d. Bidang Pendidikan
e. Bidang Generasi Muda
( selengkapnya lihat lampiran )

Khusus mengenai eksistensi dan hubungan PMII – NU, menjelang Muktamar ke 28 Nahdlatul Ulama, banyak pihak mengharapkan PMII dapat mempertimbangkan kembali sikap independensi yang telah diputuskan sejak tahun 1972. Terhadap masalah ini, PB PMII telah mengambil sikap tegas untuk tetap menjadikan PMII sebagai organisasi independen, sesuai dengan “Deklarasi Murnajati” yang dikukuhkan dalam kongres V tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat. Penegasan sikap PB PMII ini disebut “PENEGASAN CIBOGO”.

PENEGASAN CIBOGO
Bismillahirrahmanirrahiem

Bahwa independensi PMII merupakan sikap organisasi yang menjadi ketetapan kongres V tahun 1973, sebagai pengukuhan terhadap “Deklarasi Murnajati” yang dicetuskan dalam MUBES III, 14 juli 1972 di Murnajati, Malang Jawa Timur.

Bahwa Independensi PMII merupakan manifestasi dari kesadaran organisasi terhadap tuntutan kemandirian, kepeloporan, kebebasan berfikir dan berkreasi, serta tangung jawab sebagai kader ummat dan bangsa.

Bahwa independensi PMII merupakan upaya merespon pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Aslussunnah Wal Jama’ah.

Berdasarkan pertimbnagan diatas, maka PB PMII periode 1988 – 1991, setelah melakukan kajian kritis dan dengan memohon rahmat Allah SWT, menegaskan kembali bahwa : PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM ADALAH ORGANISASI INDEPENDEN YANG TIDAK TERIKAT DALAM SIKAP DAN TINDAKANNYA KEPADA SIAPAPUN DAN HANYA KOMITED DENGAN PERJUANGAN ORGANISASI DAN CITA – CITA PERJUANGAN NASIONAL YANG BERLANDASKAN PANCASILA, DAN AKAN TERUS MENGAKTUALISASIKAN DALAM KEHIDUPAN BERORGANISASI, BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA.

WALLAHUL MUWAFFIQ ILLA AQWAMITH THARIQ
Medan Rapat Pleno IV PB PMII
Cibogo, 8 Oktober 1989


E. MUSYAWARAH NASIONAL (MUNAS) I ALUMNI PMII

Sementara itu, sesuai dengan arah kebijakan program PB PMII periode 1988 – 1991 Yang menetapkan langkah kebijakan operasional organisasi, yang antara lain mendorong terwujudnya Musyawarah Nasional (MUNAS), alumni PMII. Hal ini dilakukan mengingat perjalanan panjang membentuk suatu wadah khusus alumni PMII seperti usaha yang telah dilakukan sejak Mukernas 1976, Kongres V hingga Kongres IX di Surabaya, maka sekitar 1 minggu setelah pelaksanaan kongres IX, yakni tepatnya tanggal 27 – 29 September 1988 diselengggarakan Musyawarah Nasional (MUNAS) I Alumni PMII yang bertempat di Jakarta. Munas I alumni PMII ini berhasil membentuk wadah alumni yang diberi nama : Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni PMII (FOKSIKA PMII), Munas ini juga menelorkan keputusan – keputusan tentang :

1. Deklarasi Pembentukan FOKSIKA PMII
2. Peraturan Dasar FOKSIKA PMII
3. Pokok – Pokok Program
4. Ketua dan Formatur Koordinator Nasional

Tim Formatur yang bertugas menyusun kepenggurusan koordinator Nasional FOKSIKA PMII periode 1988 – 1991, terdiri dari :
- Drs. Abduh Paddare : Ketua
- Drs. HM. Nuril Huda : Anggota
- Drs. Ahmad Bagdja : Anggota
- Drs. H. Wahiddudin Adams : Anggota

Tim tersebut berhasil menyusun kepengurusan koordinator Nasional FOKSIKA PMII periode 1988 – 1991, sebagai berikut :

KOORDINATOR NASIONAL
FORUM KOMUNIKASI DAN SILATURAHMI KELUARGA ALUMNI
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
( FOKSIKA PMII )
PERIODE 1988 – 1991

Penasehat : H. Mahbub Junaidi
: HA. Chalid Mawardi
: HM. Zamroni
: HAN. Nurih Huda
: H. Chatibul Umam

Ketua : HM. Abduh Paddare
Wakil Ketua : Ahmad Bagdja
Wakil Ketua : Man Muhammad Iskandar
Sekretaris : H. Wahiduddin Adams
Wakil Sekretaris : Qomaruddin HM
Bendahara : Asmui Suhaemi
Wakil Bendahara : Ermalena APT
Anggota – Anggota : HA. Rachim Hasan
: M. Achsin Zaidi
: Muslih Hasbullah
: H. Thamri Nudin
: Surya Darma Ali
: Muhaimin AG
: Chaerul Latif Tsauban )

F. IDE PENGGABUNGAN PMII DAN HMI

Pernyataan menarik yang dilontarkan oleh ketua umum PB NU, Abdurrahman Wahid, dalam suatu sarasehan generasi muda NU, yang berlangsung tangggal 28 – 29 september di Wisma Suprapto Jakarta. Gus Dur (panggilan akrabnya) menyatakan, sebaiknya PMII dan HMI itu bergabung saja menjadi satu wadah, sebab menurutnya anggota kedua Ormas mahasiswa tersebut adalah anak – anak NU. Alasan Gus Dur bagi penggabungan itu :

• PMII dan HMI sama – sama mahasiswa Islam
• PMII dan HMI sama – sama independent
• Sama – sama berasaskan Pancasila
• Sama – sama beranggotakan anak – anak NU

“Para pengurus HMI sekarang ini 60% anak – anak NU”. Mereka menguasai semua jajaran kepengurusan HMI, dari daerah sampai tingkat pengurusan Besar. Diantara mereka adalah Ketua Umum PB HMI, Ir. Herman Widyananta – asal Madura – dan Ketua Umum PB HMI Yahya Zaini – adalah anak tokoh NU Gresik.

Sementara itu PMII yang telah independen sejak 1972 itu banyak pengurus dan anggotanya yang diragukan ke-NU-annya, baik konteks wawasan politik, kultural maupun keislamanya.

Dalam kaitan ini, kelompok – kelompok strategis NU yang pada saatnya nanti bisa melakukan sebuah transformasi yang sesuai dengan misi dan visi perjuangan NU, terlihat saja bukan dari kader – kader intelektual dari PMII, tetapi jug kader – kader HMI yang lahir dari keluarga NU.

Namun diakuinya, kelompok strategis yang kini sedang melakukan transformasi sosial dalam tubuh NU, adalah mereka yang pernah menjadi aktivis PMII. Sedang anak – anak NU yang ada di HMI, belum banyak yang konsisten dalam NU, bahkan mereka lebih tertarik terjun di luar NU.

Ketua umum koordinator cabang PMII Jawa Tengah Drs. Istijab, menanggapi pernyataan Gus Dur, Ia mengakui “bahwa dari empat kesamaan yang diutarakan Gus Dur itu ada satu hal yang perlu dikoreksi. Memang PMII dan HMI banyak memiliki kesamaan, tetapi jika keduanya dikatakan anak NU, itu tidak benar”. Pendapat Gus Dur itu relatif, karena anak NU yang masuk organisasi HMI tidak banyak. Tapi, dapat dikatakan hampir mayoritas anggota PMII merupakan anak NU. Secara historis PMII sejak berdiri seirama dengan NU, karena organisasi ini dibentuk untuk memadahi mahasiswa Nahdliyien.

Alasan lain, menurut istijab, kedua organisasi mahasiswa itu memiliki komitmen ke Indonesiaan dan keislaman yang berbeda. Dalam hal asas tunggal Pancasila, misalnya, PMII sejak semula telah menetapkan Pancasila sebagai satu – satunya asas. Sedang HMI, meskipun menerima Pancasila sebagai satu – satunya azas, penerimaan itu disepakati malalui perdebatan panjang, bahkan sempat menimbulkan kemelut dan perpecahan ditubuh HMI.

Sementara menurut ketua umum HMI Jawa Tengah, Rudiyanto, SH “Dalam bidang keislaman, PMII berdasarkan Ahlussunnah wal Jama’ah “. Sedangkan HMI memiliki landasan keislaman yang telah dibakukan menjadi NDP (nilai dasar perjuangan) yang dianggap sebagai konsep teologi HMI”.

NDP ini pertama kali dicetuskan oleh tokoh HMI, Nurcholis Madjid yang selanjutnya membakukan NDP itu sebagai pegangan semua anggota HMI. Setelah kongres HMI tahun 1985, NDP itu disempurnakan menjadi NIK (Nilai Idenitas Kader) sebagai wujud independensi dan konsep teologi HMI. “Dari dasar keislaman saja, keduanya jelas berbeda. Menyatukan keduanya merupakan hal yang mustahil”.

Ditinjau dari segi historis, kedua organisasi itu sejak semula sudah sulit disatukan. Ide Gus Dur akan baik, jika dilihat sebagai upaya meningkatkan ukhuwah islamiah. Namun, usaha itu tidak harus dilakukan melalui penggabungan wadah tunggal. Penggabungan itu akan efektif bila secara moral keduanya bersatu dalam sikap dan tindakan untuk memajukan islam. Bahkan kedua organisasi mahasiswa itu berkewajiban mengeliminir perbedaan yang ada dalam tubuh Islam di Indonesia.

Kendatipun demikian, kedua tokoh ini mengganggap ide Gus Dur itu cukup menarik untuk dibahas. Penggabungan itu akan menghilangkan historis kedua organisasi itu. Untuk itu, PMII akan membahas masalah ini dalam kongres di Jakarta pada 21 – 27 Oktober 1991 mendatang. Sebab ini penting untuk mempertegas gagasan kesatuan sesama muslim.

Sementara itu, ketua umum PB PMII periode 1988 – 1991, Drh. Muhammad Iqbal Assegaf berpendapat “ tidak mungkin PMII melebur diri dalam HMI. Meskipun keduanya merupakan sama – sama organisasi Islam. Sebab PMII mempunyai paradigma penghayatan agama yang homogen, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah, sedangkan HMI tidak. Di HMI, cenderung liberal, bisa menampung mahasiswa islam dengan aliran islam yang berbeda – beda. Sedang di PMII sentuhan keagamaanya diberikan melalui paradigma Ahlussunnah wal Jama’ah. Dari konteks ini saja sudah berbeda.”

Iqbal beranggapan bahwa semakin banyak spesialisasi dan deferensiasi tugas dan peranan ormas adalah lebih baik. Sehingga tidak perlu diadakan fusi. Dan memang kalau mau difusikan, seharusnya semua ormas islam, bulan hanya HMI dan PMII.

Yang terpenting bagaimana memanfaatkan dan mengkapasitaskan ormas kemahasiswaan itu sesuai dengan fungsi dan perannya . Agar mereka mampu memberikan kontribusi pada pembangunan kader bangsa.

Pendapat Gus Dur untuk mengabungkan HMI dan PMII ini sebetulnya bukan ide baru. Sebetulnya Abdul Ghafur, ketika menjabat Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga juga mengusulkan hal yang serupa. Ide yang sama juga, pernah dilontarkan oleh Gubernur kalimantan Selatan M. Sa’id

Namun, PMII tampaknya sadar benar bahwa pernyataan Gus Dur itu merupakan sebuah gagasan serius. Karena itu, PMII mencoba memahami makna dibalik gagasan tersebut. Benar, memang NU menghendaki PMII mengelimanasi sikap independensinya. Dan beberapa anggota PB PMII yang menangkap arti gagasan itu berjuang keras di Medan Kongres agar bisa dilahirkan deklarasi baru dalam bentuk “Interdependensi”. )

G. DEKLARASI INTERDEPENDENSI PMII – NU

Sejarah mencatat, bahwa PMII dilahirkan dari pergumulan panjang Mahasiwa Nahdliyien, dan sejarah juga membuktikan bahwa PMII telah menyatakan independensinya melalui deklarasi Murnajati tahun 1972.

Kerangka berfikir, perwatakan dan sikap sosial antara PMII dan NU mempunyai persamaan karena dikemas dalam pemahaman Islam Ahlussunah Wal Jama’ah.

PMII insyaf dan sadar bahwa dalam melakukan perjuangan diperlukan untuk saling tolong – menolong, Ukhuwah islamiah, serta harus mencerminkan prinsip – prinsip ummat yang baik. Oleh karena itulah PMII melakukan kerjasama.

PMII insyaf dan sadar bahwa bidang dan lahan perjuangan sangat luas dan bervariatif sesuai dengan nuansa usia, zaman dan bidang garapannya.

Karena antara PMII dengan NU mempunyai persamaan – persamaan dalam persepsi keagamaan dan perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, ikatan historis, maka untuk menghilangkan keragu – raguan serta saling curiga, dan sebaliknya untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif dan fungsional, baik melalui program nyata maupun persiapan sumber daya manusia. PMII siap meningkatkan kualitas hubungan dengan NU atas dasar prinsip berkedaulatan organisasi penuh, interdependensi, dan tidak ada intervensi secara struktural dan kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan islam Ahlussunah Wal Jama’ah di Indonesia. )

Deklarasi ini dicetuskan dalam kongres X PMII pada tanggal 27 Oktober 1991 Di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Sebagai jawaban atas issu dan gagasan yang muncul menjelang diselenggarakannya kongres X PMII di Jakarta.


H. DEKLARASI FORMAT PROFIL PMII

Hal lain yang diputuskan dalam kongres X PMII di Jakarta adalah “Deklarasi Format Profil PMII”. Deklarasi ini merupakan kristalisasi dari tujuan pergerakan sebagaiamana tercantum dalam AD/ART, yakni. “Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang berbudi luhur, berilmu dan bertaqwa kepada Allah SWT, cakap serta bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuaanya”.

Bagi PMII ilmu pengetahuan merupakan alat untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT, untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dari lembah keterbelakangan dan kebodohan, karena hanya dengan ilmu manusia dapat sampai pada derajat taqwa yang sebenarnya.

Bahwa ilmu menurut pandangan PMII adalah untuk diamalkan dan diabadikan demi kemaslahatan ummat, karena PMII insyaf dan sadar bahwa orang yang berilmu tanpa diamalkan akan mendapat azab dihadapan Allah. Begitu PMII insyaf dan sadar bahwa organisasi yang baik adalah organisasi yang dapat memberi manfaat bagi orang lain.

Sebagai organisasi mahasiswa, PMII sadar bahwa dalam mengabdikan ilmu pengetahuan dan khidmat perjuangannya, memerlukan keahlian dan profesionalitas secara bertahap, terencana dan menyeluruh.

Atas dasar itulah, PMII membakukan dan menetapkan Format Khidmatnya, berupa :

MOTTO PMII
Berilmu, Beramal dan Bertaqwa

TRI KHIDMAH PMII :
Taqwa, Intelektualitas, dan Profesionalitas

TRI KOMITMEN PMII :
Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan

EKA CITRA DIRI PMII :
Ulul Abab

I. APPEAL PONDOK GEDE

Sejalan dengan anggapan PMII, bahwa ulama pewaris kenabian dan sebagai panutan, karena kedalamannya dalam pemahaman keagamaan. Dengan asumsi itu, PMII menempatkan ulama pada konteks keteladanan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebab itu PMII dalam kongresnya yang ke X di Jakarta mengeluarkan suatu keputusan yang dikenal dengan “APPEAL PONDOK GEDE”. Pemikiran yang mendasari keputusan itu adalah bahwa “ Ideologi bagi suatu negara, khususnya dalam suatu masyarakat pluralistik seperti Indonesia mempunyai peranan penting untuk mengikat persatuan dan kesatuan bangsa ditengah pergaulan dunia dan membangun masyarkat serta negara.

Pancasila sebagai ideologi resmi negara Indonesia telah menunjukkan kesaktiannya dan telah teruji dalam perjalanannya, oleh karena itu sudah seharusnya jika Pancasila menjadi azas bagi seluruh organisasi sosial politik dan organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, tidak relevan menghadapkan Pancasila dengan agama dalam posisi konfrotatif dan antagonistik.

Sejarah mencatat bahwa NU merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar yang pertama kali menerima Pancasila sebagai azas organisasi dengan disertai dengan pemikiran yang tepat dan benar bagaimana posisi serta pengamalan Pancasila dan agama (islam) dalam konteks berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang telah dirumuskan dalam bentuk deklarasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam.

Keberhasilan NU menyakinkan para warganya dan seluruh organisasi sosial keagamaan lainnya dalam masalah azas tunggal Pancasila telah dapat menghadirkan suasana dan gairah baru dalam upaya proses integrasi faham kebangsaan secara totalitas dan proporsional.

Keberhasilan tersebut, tidak terlepas dari peran para arsitek – arsitek NU yang mempunyai sikap dan sifat negarawan yang prima, utuh, tulus ikhlas dan beritikad baik, oleh karena itulah PMII mengharap dengan hormat kepada Presiden Republik Indonesia, memberikan anugrah kepada lima serangkai (1) KH. Ahmad Siddiq, (2) KH. R. As’ad Syamsul Arifin, (3) KH. Ali Maksum, (4) KH. Mahrus Ali, (5) KH. Masykur (semuanya sudah almarhum), atas jasa – jasa beliau dalam memikirkan, merumuskan dan mempertanggung jawabkannya dihadapan seluruh warga nahdliyien khususnya, dan umumnya seluruh ummat islam di Indonesia, serta lebih khusus lagi kepada Allah SWT.

Keputusan ini ditetapkan di Jakarta pada puncak acara kongres X PMII tanggal 27 Oktober 1991.

KONGRES X PMII

Dalam kongres X PMII yang dirangkaikan dengan studi nasional, dengan tema : Demokrasi, keadilan dan pembangunan masyarakat religius. Kongres yang dihadiri oleh 9 Korcab dan 77 cabang ini berhasil memilih duet Ali Masykur Musa –Syukur Sabang, masing – masing sebagai ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PB PMII periode 1991-1994. Para tokoh yang tampil sebagai Kandidat yang bersaing untuk memperebutkan posisi Ketua Umum pada kongres kali ini adalah Ali Masykur Musa (Ketua Lembaga LPSDM PB PMII periode 1988 – 1991) Endin AJ Sofihara (Ketua PB PMII periode 1988-1991), Idrus Marham Putra (Calon dari Koorcab Jawa Tengah), dan sahabat Fahjur Falakh (calon dari PMII Yogyakarta), yang terakhir ini gugur pada tahap pencalonan, karena tidak dapat meraih jumlah suara minimal sebagai syarat seorang calon untuk maju pada tahap pemilihan selanjutnya. Jadi yang berhak maju pada tahapan pemilihan selanjutnya tinggal tiga orang yaitu: Sahabat Ali Masykur Musam Endin AJ Sofihara dan Idrus Marham Putra. Yang terjadi dalam proses pemilihan, akhirnya sahabat Ali Masykur Musa yang didukung penuh oleh kelompok Jawa timur meraih suara terbanyak yang bersaing ketat dengan sahabat Endin AJ Sofihara. Para senior PMII yang menjadi aktor dibalik kemenangan sahabat Ali Masykur Musa adalah sahabat Iqbal Assegaf (mantan Ketua Umum PB PMII periode 1988-1991) didukung penuh oleh kekuatan jawa timur seperti sahabat Saerozi (ketua umum PMII Koorcab Jawa Timur). Kandidat lain yaitu sahabat Endin AJ Sofihara dan Idrus Marham Putra masing-masing menempati posisi kedua dan ketiga. Sidang pleno selanjutnya adalah pemilihan team formatur yang akan bertugas membantu ketua umum terpilih menyusun kepengurusan PB PMII periode 1991-1994. Sidang pleno berhasil memilih team Formatur yang bertugas menyusun kepengurusan Pengurus Besar PMII periode 1991-1994 adalah sebagai berikut :

Drs. Ali Masykur Musa ( Ketua Merangkap Anggota )
Drh. Muh. Iqbal Assegaf ( Mantan ketum PB PMII )
Drs. A. Sairozi ( Ketua PMII Korcab Jatim )
Drs. M. Syukur Sabang ( Mantan Ketua PB PMII )
Drs. Hadirin Suryanegara ( Ketua PMII Koorcab Jabar )
Murni Rizal ( PMII Jakarta )
Team Formatur yang bersidang pada tanggal 30 Oktober 1991 di Jakarta berhasil menyusun komposisi Pengurus Besar PB PMII periode 1991-1994 adalah sebagai berikut :

SUSUNAN PENGURUS BESAR PMII
( Periode 1991 – 1994 )

Ketua Umum : Drs. Ali Masykur Musa
Ketua : Hadirin Suryanegara
Ketua : Dhory Faraby
Ketua : Lukman Thaher
Ketua : M. Amin Said Husni
Ketua : M. Fathoni Mukhlish
Ketua : Masrur Ainun Najih
Ketua : Jauharoh Haddad
Sekretaris Jendral : M. Syukur Sabang
Wakil Sekretaris Jendral : Musa Zainuddin
Wakil Sekretaris Jendral : Andy Najmi Fuaidi
Wakil Sekretaris Jendral : Ade Mafruddin
Wakil Sekretaris Jendral : Siti Khatijah RM
Bendahara : Samsudin Rentua
Wakil Bendahara : Pandu Dewantara

MAJELIS PEMBINA NASIONAL
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

Drh. Muhammad Iqbal Assegaf : Ketua
Drs. Endin AJ Sofihara : Sekretaris
H. Rozy Munir SE, MSc : Anggota
H. Ahmad Bagdja : Anggota
Drs. H. Masdar Farid Mas’udi : Anggota
Drs. H. Wahiduddin Adam : Anggota
Drs. Muhyiddin Arubusman : Anggota


SUSUNAN PENGURUS BESAR
KORP PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTRI
(KOPRI)
Periode 1991 – 1994

Ketua : Jauharoh Haddad
Ketua I : Siti Salbiah
Ketua II : Eni Jamilah
Ketua III : Hunainah
Sekretaris : Siti Khadijah RM
Sekretaris I : Diana Mutiah
Sekretaris II : Masturoh
Sekretaris III : Nurhaida
Bendahara : Fauzia Laily
Wakil Bendahara : Wahyulita
Korwil Sumatera : Jus Arni Rasul
Korwil Jawa : Ida Nur Kosim
Korwil Kalimantan : Ida Wahidah
Korwil Sulawesi : Nurlina


KEDUDUKAN DAN KETUA-KETUA LEMBAGA
PENGURUS BESAR PMII
(Periode 1991 – 1994)

LEMBAGA-LEMBAGA :
Lembaga Kajian Pengembangan
Kaderisasi ( LKPK ) : Lucky Lukmanul Hakim
Kedudukan : Bandung Jawa Barat

Lembaga Pengembangan Sumber
Daya Manusia ( LPSDM) : Choirul Sholeh Rasyid
Kedudukan : Jember Jawa Timur

Lembaga Penelitian Dan
Pengembangan ( Litbang ) : Imam Azis
Kedudukan : D.I. Yogjakarta

Lembaga Da’wah Dan
Pengabdian Masyarakat (LDPM): Herry Idrus
Kedudukan : Sumatera Barat

Lembaga Pengembangan Seni Dan
Dialog Seni Budaya : Imam Bukhari
Kedudukan : DKI. Jakarta

Lembaga Bantuan Dan
Pengembangan Hukum ( LBPH ): Rofiqul Umam Ahmad
Kedudukan : DKI. Jakarta

Lembaga Studi Islam Dan
Kemasyarakatan ( LSIK ) : Khairuddin Bincyle
Kedudukan : Ciputat Jakarta

Lembaga Pengembangan Ekonomi
Dan Kewiraswastaan ( LPEK ) : Mustakim Abddullah
Kedudukan : Makasar

Lembaga Kajian Masalah
Internasional ( LKMI ) : Agustiono
Kedudukan : DKI. Jakarta

Lembaga Kajian Masalah
Kewanitaan ( LKMK ) : Ummi Zahroh
Kedudukan : D.I. Yogjakarta

Lembaga Pers Penerbitan
Dan Jurnalistik ( LP2J ) : Effendy Choirie
Kedudukan : DKI. Jakarta

Badan Pengembangan Dan Kajian
Lingkungan Hidup ( BPKLH ) : Moh. Idrus Batubara
Kedudukan : Medan Sumatera Utara

MUSYAWARAH KERJA NASIONAL

Seperti diatur dalam AD/ART PMII, selain Kongres yang merupakan forum tertinggi organisasi, juga ada forum Musyawarah Besar (Mubes), Musyawarah Pimpinan (Muspim) dan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas). Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam Musayawarah Kerja Nasional yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 Desember 1991 di Cimacan Jawa Barat ini antara lain tentang:

• Majlis Pembina Nasional,
• Kedudukan Lembaga dan Ketua Lembaga,
• Susunan PB Kopri periode 1991-1994,
• Komposisi PB PMII Periode 1991-1994,
• Badan Pengembangn dan Kajian Lingkungan Hidup,
• Tata Kerja PB PMII periode 1991-1994,
• Job Discription PB PMII periode 1991-1994, dan
• Program Kerja PB PMII periode 1991-1994.

Salah satu keputusan penting pada Mukernas kali ini adalah tentang “Implementasi Interdependensi PMII-NU”.

IMPLEMENTASI INTERDEPENDENSI PMII – NU

Untuk mempertegas “Deklarasi Interdependensi PMII – NU, yang diputuskan dalam kongres X PMII di Jakarta 1991 maka PB PMII periode 1991 – 1994 – duet Ali Masykur – Syukur Sabang – melalui Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) PB PMII tanggal 24 Desember 1991, di Cimacan Jawa Barat, mengeluarkan keputusan tentang : IMPLEMENTASI INTERDEPENDENSI PMII – NU. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa “lahirnya PMII melalui musyawarah mahasiswa Nahdliyien di Surabaya pada tanggal 17 april 1060 / 21 syawal 1397. Sesungguhnya adalah puncak dari upaya – upaya yang pernah dilakukan sejak lama sebelum itu , untuk membentuk wadah yang lebih representatif sebagai tempat mahasiswa Nahdliyien mengaktualisasikan perannya, ternyata benar, begitu lahir PMII, ia segera tumbuh pesat di berbagai daerah di Indonesia dan segera pula memberikan kontribusinya yang signifikan dengan pejuangan politik partai NU.

Selama 12 tahun lamanya PMII sebagai orderbow partai NU berkhidmat di dalam kancah politik praktis, sampai akhirnya ia menyatakan diri sebagai ORGANISASI INDEPENDEN yang tidak terikat dalam sikap dan tindakannya pada siapapun dan hanya komited pada perjuangan organisasi dan cita – cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Pernyataan yang dideklarasikan pada tanggal 14 juli 1972, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Deklarasi Murnajati” itu sesungguhnya merupakan manifestasi kesadaran PMII yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berfikir, dan pembangunan kreatifitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran islam.

Hingga saat ini, Independensi itu masih terus dipertahankan dan dipertegas dengan “penegasan Cibogo”, pada tanggal 8 oktober 1989 yang mendatang independensi itu sebagai “ upaya merespon pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran islam Ahlussunah Wal Jama’ah”. Namun demikian, baik deklarasi Murnajati maupun penegasan Cibogo tidaklah dimaksudkan untuk menciptakan garis damargasi antara PMII disatu pihak dengan NU dipihak lain. Diantara keduanya senantiasa terjalin hubungan yang dibangun diatas persamaan paham keagamaan, pemikiran, sikap sosial dan lain – lain.

Dalam rangka mempertegas hubungan PMII dengan NU, Kongres X PMII pada tahun 1991 di Jakarta, telah melahirkan suatu pernyataan : DEKLARASI INTERDEPENDENSI PMII-NU. Penegasan hubungan itu didasarkan kepada pemikiran – pemikiran antara lain :

Pertama: Bahwa dalam pandangan PMII Ulama sebagai pewaris kenabian (Ulama waratsatul anbiya) merupakan panutan karena kedalamannya dalam pemahaman keagamaan. Oleh karena itu, interdependensi PMII – NU ditempatkan pada konteks keteladanan ulama dalam kehidupan keagamaan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kedua: Adanya ikatan kesejarahan yang mempertautkan antara PMII – NU. Realitas sejarah bahwa PMII lahir dari dan dibesarkan oleh NU, demikian juga latar belakang mayoritas warga PMII yang berasal dari NU, secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi perwatakan PMII menyatakan PMII secara umum. Adapun kemudian PMII menyatakan dirinya sebagai organisasi independen, hendaknya tidak dipahami sebagai upaya mengurangi, apalagi menghapus arti ikatan kesejarahan tersebut.

Ketiga: Adanya persamaan paham keagamaan antara PMII dengan NU. Keduanya sama – sama mengembangkan suatu wawasan keislaman dengan paradigma pemahaman Ahlussunah Wal Jama’ah. Implikasi dari wawasan keislaman ini tampak pula pada persamaan sikap sosial yang bercirikan tawaassuth dan I’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi mungkar. Demikian juga didalam pola pikir, pola sikap, pola tindak PMII dan NU menganut pola selektif , akomodatif, integratif sesuai dengan prinsip dasar : Al Muhafazdotu Alal Qodimis Shalih Wal Akhzdu Biljadi al Ashlah.

Keempat:Adanya persamaan kebangsaan. Bagi PMII keutuhan komitmen keislaman dan keIndonesiaan merupakan perwujudan kesadaran beragama dan berbangsa bagi setiap insan Muslim Indonesia, dan atas dasar hal tersebut maka menjadi keharusan untuk mempertahankan bangsa dan negara Indonesia dengan segala tekad dan kemampuan, baik secara perorangan maupun bersama.

Kelima: Adanya persamaan kelompok sasaran. PMII dan begitu juga NU, memiliki mayoritas anggota dari kalangan masyarakat kelas menengah kebawah. Kesamaan lahan perjuangan ini, semestinyalah bila kemudian melahirkan format-format perjuangan yang relatif sama pula.

PRINSIP – PRINSIP INTERDEPENDENSI

Sekurang – kurangnya terdapat lima prinsip yang semestinya dipegang bersama untuk merealisasikan interdependensi PMII – NU :

1. Ukhuwah Islamiah
2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
3. Mubadi Khoiru Ummah
4. Al Musawah
5. Hidup Berdampingan dan berdaulat secara penuh.

Implementasi interdependensi PMII – NU diwujudkan dalam berbagai bentuk kerjasama antara lain meliputi bidang – bidang :

1. Pemikiran : Kerjasama dibidang ini dirancang untuk pengembangan pemikiran keislaman dan kemasyarakatan.

2. Sumber Daya Manusia:
Kerjasama dibidang ini ditekankan pada pemanfaatan secara maksimal manusia – manusia PMII maupun NU.

3. Pelatihan : Kerjasama dibidang pelatihan ini dirancang untuk pengembangan sumber daya manusia baik PMII maupun NU.

4. Rintisan Program :
Kerjasama dibidang ini berbentuk pengelolaan suatu program secara bersama seperti program pengembangan ekonomi, program aksi sosial, dll.

Implementasi interdependensi PMII-NU ini merupakan hasil keputusan Musyawarah Kerja Nasional PB PMII pada tanggal 24 Desember 1991 di Cimacan Jawa Barat. Keputusan dimaksudkan sebagai rujukan bagi pengembangan kerjasama antara PMII dengan NU. )

Keputusan-keputusan lain yang dihasilkan oleh Mukernas kali ini antara lain tentang:

1. Majlis Pembina Nasional
2. Kedudukan lembaga dan Ketua Lembaga
3. Susunan PB.Kopri periode 1991-1994
4. Komposisi PB.PMII periode 1991-1994
5. Badan Pengembangan dan Kajian Lingkungan Hidup
6. Tata Kerja PB.PMII periode 1991-1994
7. Job Discription PB.PMII periode 1991-1994
8. Program Kerja PB.PMII periode 1991-1994.

MUSYAWARAH PIMPINAN (MUSPIM) I PMII

Musyawarah Pimpinan (MUSPIM) PMII ini dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1992 di Cipayung Bogor Jawa Barat, yang di ikuti oleh Koordinator Cabang seluruh Indonesia dan Cabang-Cabang PMII besar yang di undang khusus untuk itu. Adapun materi yang dibahas dan dihasilkan dalam Muspim kali ini antara lain:

1. Penyempurnaan atas Peraturan Organisasi “Pedoman Penyelenggaraan Permusyawaratan Organisasi” (PPPO-PMII).

Keputusan ini didasari oleh pemikiran, bahwa kualitas kepemimpinan organisasi ditentukan antara lain oleh sistem kaderisasi yang terarah, terencana dan berkesinambungan serta terefleksikan dalam proses rekrutmen kepemimpinan yang selektif atas dasar prestasi dan obyektifitas.

Disamping sistem kaderisasi yang demikan itu, iklim organisasi yang demokratis merupakan faktor lain yang juga menentukan, maka perlu dilakukan beberapa ikhtiar sebagai upaya demokratisasi dalam kehidupan organisasi melalui penyempurnaan mekanisme permusyawaratan yang berlaku secara nasional dilingkungan organisasi PMII. Keberadaan sebuah pedoman penyelenggaraan permusyawaratan organisasi (PPPO) bagi PMII merupakan tuntutan konsolidasi sekaligus upaya peningkatan kualitas organisasi.

Pedoman penyelenggaraan permusyawaratan organisasi (PPPO) ini merupakan serangkaian aturan mengenai penyelenggaraan permusyawaratan tertinggi ditingkat koordinator Cabang, Cabang, Komisariat dan Rayon PMII secara Nasional. Hal ini dimaksudkan untuk tujuan:

a. Memberikan acuan yang jelas bagi penyelenggaraan permusyawaratan organisasi tertinggi ditingkat Koordinator Cabang, Cabang, Komisariat dan Rayon PMII.
b. Mempermudah upaya pembinaan, pengembangan dan pemantauan pelaksanaan kaderisasi dalam aspek rekrutmen kepemimpinan organisasi.
c. Menegakkan wibawa dan disiplin organisasi, serta menumbuhkan kesadaran, semangat dan kegarahan berorganisasi dikalangan anggota.

2. Kaedah Keanggotaan PMII

Kaedah Keanggotaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ini merupakan penjabaran dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMII, Khususnya yang berkenaan dengan ketentuan keanggotaan. Peraturan Organisasi ini memuat ketentuan-ketentuan tentang: Hak dan Kewajiban Anggota, Perangkapan Keanggotaan, Penghargaan Keanggotaan, Pemberhentian keanggotaan, Kategori Pemberhentian, Wewenang Pemberhentian dan prosedur naik Banding.

3. Kaedah Pembentukan dan Pengguguran Cabang

Peraturan Organisasi tentang Kaedah Pembentukan dan pengguguran Cabang PMII ini merupakan penjabaran dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMII, khususnya yang berkenaan dengan ketentuan pengurus cabang. Yang didalamnya memuat tentang: Syarat Pembentukan Cabang, Wewenang Pembentukan cabang, Status dan Akreditasi, Klasifikasi dan Kualifikasi Cabang, Pengguguran Cabang dan Keputusan Pengguguran Cabamg.

4. Kaedah Pelaporan PMII

Peraturan Organisasi tentang Kaedah Pelaporan PMII ini merupakan penjabaran dari Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMII khususnya yang berkaitan dengan ketentuan pelaporan pengurus Koordinator Cabang dan Pengurus Cabang, yang didalamnya memuat ketentuan tentang: Jenis-jenis laporan, Isi dan Waktu Laporan, yang meliputi: Pelaporan kegiatan, Pelaporan Hasil Konfrensi, Pelaporan Pertanggung jawaban, dan Pelaporan Pendataan Anggota.

5. Strategi Pengembangan Kelembagaan PMII

Strategi Pengembangan Kelembagaan PMII ini merupakan konsep dasar mengenai optimalisasi fungsi kelembagaan internal PMII dan pengembangan jaringan kelembagaan internal maupun eksternal yang melingkupi PMII.

Kelembagaan internal PMII mencakup seluruh perangkat organisasi di semua tingkatan yang meliputi Majlis Pembina, Badan Pengurus Harian, Struktur Kopri, dan lembaga-lembaga strategis dan / atau badan Fungsional. Sedangkan Kelembagaan Eksternal adalah organisasi kemasyarakatan / organisasi Kemasyarakatan Pemuda dan Instansi Pemerintah.
Maksud Peraturan Organisasi tentang Strategi Pengembangan Kelembagaan PMII ini adalah sebagai upaya penjabaran pola pembinaan, pengembangan, perjuangan PMII , khususnya yang berkaitan dengan masalah struktur dan kelembagaan.

Sedangkan tujuannya adalah sebagai pedoman pengembangan kelembagaan internal PMII dan pengembangan jaringan kelembagaan Eksternal yang melingkupi PMII sebagai jawaban atas dinamika internal dan tantangan eksternal organisasi dalam rangka pencapaian tujuan PMII.

Dengan strategi pengembangan kelembagaan PMII ini diharapkan dapat tercipta:

1. Struktur dan aparat organisasi yang tertata dengan baik sehingga dapat mewujudkan sistem dan mekanisme organisasi yang efektif dan efisien, mampu mewadahi dinamika internal organisasi serta mampu merespon dinamika dan perubahan eksternal.
2. Kultur dan iklim yang mampu menciptakan suasana yang sehat, dinamis dan kompetitif yang selalu dibimbing dan dibingkai oleh semangat dzikir, fikir dan amal shaleh sehingga mampu meningkatkan kualitas pemikiran dan prestasi, terbangunnya suasana kekeluargaan dalam menjalankan tugas suci keorganisasian, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Peraturan organisasi ini memuat hal-hal tentang: Strategi Kelembagaan, Jaringan Kelambagaan yang meliputi: Strategi Jaringan Intrnal: Pengurus Besar dan Perangkat Organisasinya, Pengurus Koordinator Cabang dan Pengurus Cabang. Strategi Jaringan Eksternal. Mekanisme Kelembagaan, Bentuk dan Wilayah Koordinasi, Mekanisme kerja Lembaga atau Badan.